Langit pada siang ini begitu cerah, angin segar bertiup lebih kencang dari biasanya, membuat para pohon bergoyang dan daun-daun berterbangan mengikutinya.
Di atas rooftop SMA Bima Sakti, kini terlihat Akira dan Karin sedang duduk menikmati angin yang menerpa tubuh mereka.
Handphone milik Akira tiba-tiba berbunyi, membuat sang pemilik sontak mengambilnya dari dalam saku celana. Layar menyala, menampilkan nama seorang Rere di dalamnya.
Melihat itu, Akira diam, menaruh handphone kembali ke tempatnya.
"Siapa, Ra? Kok, gak diangkat?" tanya Karin.
Akira memejamkan mata. "Rere."
Karin menghela napas, menatap ke arah Akira. "Lu sampai kapan mau nyuekin Rere terus, Ra?"
"Gak tau," jawab Akira singkat.
Karin mengembuskan napas panjang, mengalihkan pandangan ke lapangan basket yang berada di bawah rooftop. "Kenapa lu gak ngasih tau Rere yang sebenarnya aja, sih, Ra? Malah menghindar kayak gini, emang lu gak cape apa, terus menghindar dari orang yang lu sayang?"
Akira membuka mata, tatapannya langsung bertemu dengan warna biru cerah langit. "Gue gak tau, Kar. Tapi, yang pasti gue gak akan ngasih tau Rere yang sebenarnya, biar dia tau sendiri gimana kelakuan itu orang."
"Gue gak paham sama cara pikir lu soal ini, Ra. Padahal, ini bisa jadi momen yang bagus buat lu, tapi lu malah milih diam dan nyia-nyiain gitu aja."
"Gue gak mau bikin dia sedih," sahut Akira.
Karin kembali menatap ke arah Akira. "Lu pikir dia sekarang gak sedih? Dengan lu yang terus menghindar dan nyuekin dia? Dia pasti juga sedih, Ra, dan jauh lebih sedih daripada tau yang sebenarnya."
Akira terdiam, semua perkataan Karin benar-benar mampu membungkam mulut dari cowok itu. Namun, itu tidak berselang lama, Akira kini menatap ke arah Karin dan memberikan usapan lembut pada puncak kepala sang sahabat.
"Lu ternyata bisa bawel juga, ya."
"Ih! Akira! Gue serius! Rere pasti sekarang lagi sedih gara-gara lu cuekin terus!" Karin memanyunkan bibir, saat semua yang telah ia katakan hanya dianggap bawelan semata oleh Akira.
Akira tersenyum tipis, melihat bibir Karin yang sudah seperti ikan mujair. "Udah, jangan dimajuin terus itu bibir. Gue tau, kok, Rere pasti sedih sama sifat gue, tapi, ya, mau gimana lagi, Kar."
"Gimana lagi apanya?" tanya Karin, membiarkan Akira yang masih setia mengusap lembut puncak kepalanya.
Akira menurunkan tangan kirinya dari atas kepala Karin. "Gak gimana-gimana."
Pintu rooftop tiba-tiba terbuka, menampilkan Alexia dan kelima sahabatnya yang sedang berjalan memasuki area itu dengan membawa nampan berisikan makanan beserta minuman.
"Makanan datang!" teriak Vino, seraya menaruh nampan yang ia bawa di hadapan Akira dan Karin.
Akira dan Karin menatap semua makanan yang sudah ada di hadapan mereka dengan mulut sedikit terbuka. Kedua remaja itu saling pandang, lantaran tidak percaya akan semua makanan yang dibawa oleh Alexia dan yang lainnya.
"Kak, lu ngapain beli makanan berat semua?" tanya Akira, mengalihkan pandangan ke arah sang kakak.
Alexia mendudukkan tubuhnya di sebelah kiri Akira. "Bukan gue yang beli, tapi si kembar sama Hiro."
"Vik, Vin, Hir?"
Viko dan Vino tersenyum tanpa dosa. Mereka berdua ikut duduk, dan mengambil dua botol teh yang telah dibeli.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rivalry Or Revenge
Jugendliteratur‼️ ATTENTION ‼️ CERITA INI MENGANDUNG BEBERAPA KATA-KATA KOTOR YANG TIDAK DISENSOR. Streber dan Strano adalah dua organisasi yang memiliki rivalitas tinggi dari generasi ke generasi. Kedua organisasi itu tidak pernah akur dalam hal bisnis maupun di...