Kedatangan Sang Mama

45 23 31
                                    

Waktu telah menunjukkan pukul 16.30. Matahari terlihat telah turun dari puncak tertinggi di angkasa menuju ke ufuk barat, menandakan bahwa sebentar lagi sang surya akan mengistirahatkan tubuhnya.

Sebuah mobil berwarna putih melaju dengan kecepatan sedang, melewati jalanan yang sudah mulai dipenuhi oleh banyaknya kendaraan dari arah perkantoran. Di dalam mobil itu, terlihat Rere dan Indira tengah mengobrol seraya menikmati warna langit yang perlahan-lahan mulai berubah menjadi jingga.

“Re, gue mau nanya sesuatu boleh gak?”

Rere menoleh ke arah Indira yang sedang fokus menyetir. “Mau nanya soal apa, Dir?”

“Itu, tadi, kan, lu cerita kalau Cia kecelakaan sehabis pulang dari makam orang tuanya, kan, terus lu juga bilang, kalo lu sama tante Fera disuruh mamanya Cia buat jagain nenek sama Cia sebelum beliau datang. Nah, sebenernya orang tuanya Cia itu ada berapa, sih, Re?”

Rere diam sejenak, sedikit bingung harus menjelaskan mulai dari mana. “Soal itu, ya Dir. Sebenernya orang tua kandung kak Cia udah meninggal sejak dia umur tujuh tahun, Dir. Waktu itu, seinget gue, mereka berdua terlibat kecelakaan besar yang harus merenggut nyawa keduanya. Kak Cia waktu itu benar-benar rapuh, dia yang biasanya murah senyum, selalu semangat dan selalu ngasih aura positif, mendadak jadi pendiam, bahkan selama satu bulan penuh dia selalu kabur ke makam dan tidur di sana. Sampai pada akhirnya, kak Cia bisa nerima kenyataan, dan setelah itu, kak Cia diangkat sebagai anak sama paman dan bibinya, yang tidak lain adalah orang tua Akira.”

Mata Indira melebar sempurna, penjelasan Rere benar-benar mampu membuat dirinya terkejut. Ia tidak pernah menyangka kalau orang yang dirinya kagumi ternyata memiliki masa lalu cukup kelam.

Indira membelokkan mobil memasuki area rumah sakit, lalu mencari parkiran kosong untuk memarkirkan mobilnya.

Setelah mendapatkan parkiran kosong, Indira mematikan mesin, mengembuskan napas panjang, kemudian membenturkan kepalanya pelan ke setir.

Rere mengerutkan kening bingung saat melihat hal yang dilakukan oleh Indira. “Kenapa, Dir?”

“Setelah denger cerita lu tadi, gue jadi kangen dan ngerasa bersalah banget sama mama, Re. Gue yang selama ini punya keluarga lengkap, tapi masih sering ngelawan sama bantah larangan yang diberi sama mama, gue merasa bersalah banget, Re.” Air mata Indira tumpah, membayangkan perasaan sang mama saat dirinya beberapa kali tidak mendengarkan larangan dan nasehat yang telah diberikan oleh wanita itu.

Rere tersenyum, menggerakkan tangan untuk mengelus pundak Indira. “Kita sama, Dir, gue juga masih sering ngelawan omongan dari Bunda, tapi kita masih bisa perbaiki itu, kan? Mulai sekarang lu mau gak, perlahan-lahan memperbaiki kesalahan kita ke orang yang udah ngelahirin kita?”

Indira mengangkat kepala, melihat ke arah Rere dan mengangguk. “Iya, Re, gue mau.”

Rere menghapus air mata Indira yang masih mengalir. “Pintar, mau pulang sekarang? Biar cepet ketemu sama tante?”

Indira menggelengkan kepala. “Nanti aja, Re, gue mau ikut lu jenguk Cia dulu.”

“Ya, udah, yuk, turun.” Rere melepaskan seatbelt, membuka pintu, dan turun dari dalam mobil dengan diikuti oleh Indira.

Rere dan Indira berjalan menuju pintu masuk rumah sakit dengan diiringi oleh obrolan ringan, hingga kedua mata Rere menangkap sosok perempuan yang sangat dirinya kenali.

Rere tersenyum bahagia, menggenggam tangan Indira, dan berlari menuju ke arah perempuan itu.

“Mama,” teriak Rere.

Perempuan itu sontak berhenti berjalan, menoleh ke arah Rere yang sedang berlari menghampirinya.

“Mama baru sampai?” tanya Rere, menghentikan larinya saat sudah berada di hadapan perempuan itu.

Rivalry Or RevengeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang