Septi Si Paling Iri

53 32 51
                                    

"Gimana, lu setuju sama syarat yang dikasih ayah lu?" tanya Akira, sedikit mendongakkan kepala, melihat ke arah langit yang telah dihiasi oleh bulan dan ribuan bintang.

Karin memasukkan kedua tangan ke dalam saku jaket yang sedang ia kenakan. "Gue bingung, Ra. Kalo gue setuju sama syarat yang dikasih ayah, berarti setelah mama sembuh, gue sama mama udah gak bisa lagi buat ketemu sama Sherly. Tapi, kalo gue gak setuju, gue takut ayah ngelakuin hal yang nggak-nggak buat ngejauhin Sherly dari mama, dan nanti malah bikin kondisi mama drop lagi."

Setelah mengatakan hal itu, Karin menundukkan kepala, menendang-nendang tanah pelan dengan kedua kakinya.

Masih terekam jelas di ingatan Karin ketika tadi sore sang ayah tiba-tiba saja datang ke sekolah Sherly untuk menghalanginya menjemput sang adik. Beruntung, tadi sore ia datang bersama dengan Akira, Alexia, Chika, dan beberapa anggota Streber yang lain. Jika tidak ada mereka, mungkin dirinya sudah tidak bisa melihat sang adik untuk selama-lamanya.

"Kar," panggil Akira, tanpa mengalihkan pandangan dari indahnya langit malam.

Karin mengangkat kepala, menoleh, menatap wajah putih milik Akira. "Kenapa?"

"Jangan terima syarat dari ayah lu," pinta Akira, melipat kedua tangan di dada.

"Tapi, Ra, kalo gue gak nerima syarat dari ayah, gue takut ayah ngelakuin hal yang nggak-nggak," jelas Karin.

Akira mengalihkan pandangan ke Karin, mengusap lembut puncak kepala gadis itu. "Lu gak usah khawatir, gue sama anak-anak Streber bakal bantuin lu, biar ayah lu gak bisa berbuat aneh-aneh ke lu dan tante."

"Lu serius, Ra?"

Akira mengangguk. "Iya. tapi, lu harus gabung sama Streber."

Karin melebarkan mata saat mendengar perkataan Akira. Ia sontak menunjuk dirinya sendiri menggunakan jari telunjuk. "Gue, gabung ke Streber? Lu gak salah ngajak orang, kan, Ra?"

Akira menggeleng, menjauhkan tangan dari puncak kepala Karin. "Nggak, gue emang ngajak lu buat join ke Streber. Lu mau, kan?"

Karin kembali menunduk, dan menendang-nendang tanah pelan. "Tapi, kenapa harus gue, Ra?"

Akira mengangkat dagu Karin agar kembali menatap wajahnya. "Gue ngeliat potensi lu bakal cocok kalo masuk ke team gue. Gimana? Mau, kan?"

Karin diam, menggigit bagian dalam bibir seraya menatap lekat mata Akira. "Gue boleh gak minta waktu buat mikir dulu?"

"Iya. Lu pikirin aja dulu." Akira mengangguk, menjauhkan tangan dari dagu Karin. "Balik ke dalam, yuk, anginnya udah makin kenceng, ntar lu masuk angin lagi."

Karin menyetujui ajakan Akira, bangun dari tempat duduk, dan berjalan menuju gedung rumah sakit bersama dengan cowok itu.

•••

Waktu telah menunjukkan pukul 09.00. Di dalam sebuah kelas yang bertuliskan XII IPS 1 terlihat siswa-siswi sedang sibuk dengan aktivitas mereka masing-masing. Mereka saat ini sedang mendapatkan hadiah jam kosong akibat sang guru tidak dapat hadir dikarenakan sakit, untuk menikmati waktu luang tersebut, siswa-siswi kelas itu ada yang bermain video game, menonton film, mengobrol santai, dan lain sebagainya.

Karin yang juga merupakan siswi dari kelas itu memilih untuk duduk, menopangkan dagu di mejanya seraya melihat ke arah luar jendela. Ia bersenandung, mulai menutup mata, menikmati hembusan angin sepoi-sepoi dari jendela yang terbuka.

"Enak, ya, deket sama Akira, ke mana-mana jadi berasa aman," sindir salah seorang gadis yang duduk tidak jauh dari tempat Karin dengan suara cukup keras.

Rivalry Or RevengeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang