16

85 14 4
                                    

"Gue nggak mau dia tahu kalau calon suaminya punya gangguan mental. Gue nggak mau dia malu, Kak."

***

cw tw // mention of death, mental issues, and violence.

Anak berusia 10 tahun berlari kegirangan saat melihat Mamanya keluar dari kamar dengan sebuah koper. Segera ia memeluk kaki panjang Sang Mama. Di dekapnya sangat erat dan mendongak dengan senyuman.

"Mama mau kemana? Aku ikut ya,"ucap anak kecil itu.

Sang Mama menunjukkan raut wajah tidak mengenakkan. Ia hempas anak kecil itu menjauh darinya. Tatapannya sangat tajam sarat akan kebencian.

"Nggak! Jauh-jauh sana!"

Anak kecil menatap ke arah Mamanya sendu. "Kenapa Asta harus jauh-jauh dari Mama? Mama nggak sayang Asta lagi?"

"Kamu itu pembawa sial! Gara-gara kamu Atsa mati! Harusnya kamu yang pergi dari dunia!"teriak nyaring Sang Mama.

Anak kecil bernama Asta menatap Mamanya dengan mata berkaca-kaca. Sudah sering ia mendengar kalimat itu selama 3 bulan ini. Kematian kembarannya yang membuat Sang Mama amat membencinya.

"Aku juga nggak mau Adik Atsa meninggal, Ma,"lirih Asta.

Sang Mama tertawa. "Kalau gitu kenapa nggak kamu saja yang mati? Kenapa kamu biarkan Atsa ikut dengan kelakuan bodoh kamu, hah?! Kamu itu nakal dan pembawa sial! Coba saja kamu nurut, mungkin Atsa tidak akan di bunuh!"

"Maafin Asta, Mama."

Asta menatap Mamanya dan tangannya mencoba menggapai lengan sang Mama. Namun, langsung ditepis begitu saja. Sang Mama memberikan tatapan amat tajam dan mencengkram erat tengkuk Asta. Anak itu hanya mampu meringis kesakitan.

"Ingat ini baik-baik! Jangan pernah menatap saya lagi! Saya tidak sudi di tatap Anak pembunuh macam kamu! Kamu itu pembawa sial, Asta! Kamu tidak pantas hidup! Jika kamu berani menatap saya lagi, saya bunuh kamu! Saya akan buat hidup kamu sengsara sampai kamu nggak bisa bernafas dengan tenang!"

Plak!

Plak!

"Ampun Ma. Sakit."

Plak!

Plak!

"Pipi Asta sakit, Ma."

Plak!

"Ini nggak seberapa dengan kematian Atsa! Anak pembawa sial!"

Plak!

Plak!

.

.

Astalian terbangun dari mimpinya. Dadanya kembang kempis. Ia merasakan sakit yang teramat hebat. Sejenak ia mengatur nafas di tengah jantungnya berpacu dengan hebat. Keringat mengalir deras di pelupuk dahinya.

Cklek

"Asta, lo kenapa?"Marvin masuk ke kamar Astalian dengan tergesa-gesa.

Ia pandangi Adiknya duduk di kasur dengan nafas memburu. Segera ia tuntun Astalian untuk meminum air putih dan mengambil obat yang terletak di atas nakas. Di usapnya lembut punggung belakang Astalian agar Adiknya tenang.

Setelah keadaan Astalian jauh lebih tenang, barulah Marvin membuka suara. "Lo mimpi lagi?"

"Kak, gue takut. Kejadian itu jadi mimpi buruk untuk gue. Gue pengen hidup tenang, Kak. Rasanya sakit ingat kejadian itu lagi. Setiap gue mencoba menatap perempuan yang gue cintai. Saat itu juga, bayangan Mama mukul gue terus datang. Gue harus apa untuk sembuh dari hukuman ini? Apa gue masuk penjara aja karena udah bunuh Atsa?"

Marvin menggeleng. "Lo nggak salah, Asta. Atsa dibunuh sama penculik. Mereka juga sudah di penjara seumur hidup. Mama yang salah udah benci sama lo."

"Gue yang salah, Kak. Gue memang pembawa sial. Harusnya waktu itu gue nurut perkataan Mama untuk nggak mudah percaya sama orang asing. Kalau aja waktu itu gue bisa nurut perkataan Mama. Mungkin gue dan Atsa nggak akan di culik. Atsa nggak akan di bunuh. Mama nggak akan benci sama gue. Mama nggak akan pergi dari rumah dan gue nggak perlu dapet trauma ini,"lirih Astalian.

Marvin mengusap kepala Astalian. "Berhenti salahin diri lo sendiri. Semua sudah berlalu. Lo nggak perlu lagi merasa bersalah sama Mama. Mama pergi karena dia udah tega mukul lo. Gue dan Papa nggak akan biarin lo semakin sakit. Tolong jangan salahin diri lagi ya? Gue pengen lo sembuh dari trauma ini."

"Gimana caranya, Kak? Gue udah beranikan diri melawan trauma itu. Gue udah mulai bisa nerima orang lain di hidup. Gue belajar natap orang yang gue cintai. Tetapi, semuanya nggak ada artinya karena mimpi itu selalu datang. Seakan gue akan selalu di hukum seumur hidup."

Marvin menggeleng. Ia menatap pada Astalian yang matanya sudah memerah. "Lo harus lebih kuat lagi. Janji sama gue untuk sembuh? Lo hanya perlu rajin terapi dan lawan trauma lo itu. Gue yakin kalau Lavelyn tahu, pasti dia akan dukung. Lo bisa lihat ketulusan dia. Bahkan dia dengan sabar ajarin lo untuk lebih percaya diri. Bukan nggak mungkin dia bantu lo untuk sembuh."

"Jangan libatin Lavelyn ke masalah ini, Kak. Gue nggak mau dia tahu. Gue nggak mau dia tinggalin gue,"ujar Astalian.

Marvin menghela nafas. "Nggak mungkin, Asta. Lavelyn cinta sama lo. Jujur sama dia. Lo hanya butuh support system selain gue dan Papa."

"Nggak, Kak. Lavelyn cukup tahu gue nggak punya kekurangan apa pun. Dia ada di sisi gue, itu sudah lebih dari cukup,"ucap Astalian.

"Lo yakin mau nutupin ini? Apa artinya lo ngelamar dia, kalau hal sederhana seperti ini aja lo nggak mau terbuka sama Lavelyn? Lo nggak inget kejadian makan siang di restoran? Kalau Lavelyn dari awal curiga dan sewaktu-waktu lo ngalamin hal itu lagi. Lo masih mau nutupin?"

Astalian mengangguk. "Gue nggak mau dia tahu kalau calon suaminya punya gangguan mental. Gue nggak mau dia malu, Kak. Gue sayang sama dia. Tolong jangan libatin Lavelyn. Gue nggak mau dia terluka."

"Tetapi, dengan lo nutupin ini semua. Itu akan jauh lebih melukai Lavelyn. Lo harus ingat, Asta. Sewaktu-waktu, seseorang yang lo cintai akan ngerasain capek kalau lo masih aja nutupin ini semua. Dia akan ngerasa nggak di percaya sama lo."

...

Halo aku update

Maaf ya kelamaan nunggunya.

Ini part khusus menjelaskan apa yang terjadi sama Astalian. Sekarang kalian sudah tahu kan?

Menurut kalian keputusan Astalian sudah tepat belum?

Komen yaa.

Jangan lupa likenya.

Terima kasih.

Cinta Cowok Idaman!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang