"PARAMITHA TRIBUANA!"
Baru aja Mitha membuka pintu Diklat, suara nyaring Sera yang memanggil namanya membuat kuping Mitha hampir budeg. Sambil berjalan tertatih, Mitha menempelkan ibu jarinya pada fingerprint tempat absen.
"Ser, masih pagi. Gue belom sarapan nih."
"Kamu nggak ambil cuti?" Bukan Sera yang jawab, tapi Mas Alan. Laki-laki itu rajin sekali jam segini udah nyalain komputer, nggak kaya partner kerja Mitha yang belum datang.
"Nggak mas. Jatah cutinya buat tahun depan aja, bentar lagi juga ganti tahun."
"Mitha! Lo ngapain masuk kerja sih?! Ngeri gue liat lo jalan pincang-pincang kayak gitu. Gak kapok kesleo kemarin hah?!"
Tangan Sera mengangkat sedikit celana panjang Mitha, memperlihatkan pergelangan kakinya yang bengkak, "Buset! Ini kaki lo berubah jadi kaki gajah, Mit? Bengkak banget!"
"Serana." Serana menyengir saat Mitha memberi kode kalau mereka lagi nggak cuman berdua, ada Mas Alan yang duduk di hadapan mereka.
"Hehehe, habisnya bengkak banget ini. Besok Juma't lo cuti aja, lumayan 3 hari buat istirahat di kosan. Gue temenin deh pulang kerja."
Benar, besok Jum'at. Hari kesialan bagi Mitha. Astaga dosa apalagi yang ia perbuat di masa lalu, sampai menyebabkan hasi penuh berkah ia tandai menjadi hari penuh kesialan.
"Nggak ah, Ser. Gue kerja aja, nanggung."
Sera berkacak pinggang, kini ia berdiri memandang Mitha yang masih mencari tempat duduk ternyaman. "Ngeyel amat dibilangin. Noh liat! Lo aja susah nyari tempat duduk yang nyaman, gimana mau kerja. Nyusahin aja ntar!"
Astaga mulut Sera, ceplas-ceplos sekali. Coba aja kalau Mas Alan nggak ada disini, udah kena tabok sebel dari tangannya.
"Serana.... Kata gue sih, mending lo duduk." Dengan senyum manis dan tatapan mata tajam menusuk, Mitha memberi peringatan, "Atau mau gue keluarin my skill?" Gumamnya di sebelah telinga Sera.
"Hehehe, mau sarapan apa Mit? Nasi uduk depan mau?"
"Nggak usah! Mas Alan, laporan kunjungan kemarin ada copy nya?"
Mas Alan yang dipanggil mendongak, "Ada. Tapi masih di SDM, belum mereka salin."
"Kalau absensinya? Ada?"
"Ada. Mau langsung kamu rekap?"
"Iyadeh sekalian aja." Mitha menyalakan PC dan komputernya, membuka laman rekap online khusu unit Diklat.
Saat Mas Alan memberikan tiga tumpuk map merah dengan selebaran kertas didalamnya, Mitha langsung mengambil dan memasukkan datanya ke dalam komputer.
Dari satu menit sampai menjelang satu jam, Mitha baru menyelesaikan satu map merah yang isinya hanya 23 peserta yang hadir pada Grand Opening kemarin.
"Mas, ini peserta yang hadir GO kemarin, emang sebanyak ini?"
Mas Alan yang merasa terpanggil pun, bangkit, memutari kubikel miliknya, "Iya. Sera juga kok yang buat daftar hadirnya."
"Ser, seriusan sebanyak ini?"
"Iya, Mit. Itukan hampir perwakilan RS se-Jakarta, Bu Dirut tuh yang ngirim surat undangannya."
Mitha hampir mual membaca deretan nama yang ditulis latin, bukan! Ini bukan tulisan latin lagi, tapi tulisan ceker bebek! Sama sekali matanya nggak bisa baca sampai berulang-ulang juga mencari nama yang cocok di layar komputer.
"Kalo kebanyakan, masukin yang ikut dari unit RS kita dulu aja, yang lainnya bisa nyusul kok."
Mas Alan sangat dekat diantara Mitha dan Sera, ia sudah kami anggap seperti kakak kami sendiri. Segala perintah baiknya pun lantas dapat diterima oleh Staff Diklat yang hanya ada 5 orang termasuk dirinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Wedding Impossible [end]
Teen FictionSahabat katanya? Adakah pria dan wanita yang sahabatan selama bertahun-tahun tanpa melibatkan perasaan diantara mereka? Well, Paramitha Tribuana dapat dengan sombong mematahkan segala sesuatu yang mengatakan kalau bersahabat dengan lawan jenisnya...