5 : Lamaran

37 1 0
                                    

Siapa yang nggak kaget karena mendapat kabar mendadak kalau orangtuanya melamar seorang pria. Ingat, pria! Memang sih menjadi hak yang lumrah acara lamar-melamar begini, tapi masa harus pihak dari Wanita sih yang melamar pria.

"Ma, maksud Mama apa, senin kemarin ngelamar Raden?"

Karena tidak bisa membiarkan orangtuanya nekat, Mitha menutuskan untuk pulang ke bogor hari ini. Tepat setelah pulang kerja, naik kereta.

"Kalian harus menikah, Mitha."

Memejamkan matanya dan menghela napas, Mitha meneguk habis air dingin di depannya. "Ma, udah Mitha bilang berapa kali, kalo ini semua cuman kesalahpahaman."

"Kesalahpahaman apa yang membuat anak Mama memasukan pria dewasa ke dalam kosannya? Apalagi sampai menginap, masih bisa dibilang kesalahpahaman?" Seloroh Mama dengan wajah sinisnya.

"Aku bicara se-jujur jujurnya, Ma. Kan udah aku ceritain kejadiannya kayak gimana. Kita ketemu pas aku keluar dari stasiun, kaki ku abis kesleo di tempat kerja, Raden nawarin tebengan, terus hujan... "

"Terus?" Mitha tak mampu melanjutkan ceritanya, mengingat memang ada kesalahan diantara dirinya dan juga Raden.

flashback
"Makasih lagi." Ucapnya sedikit sungkan. Bagimana pun walaupun pernah bersahabat, Mitha dan Raden sudah lama nggak berkomunikasi.

"Di dalem ada makanan gak? Gue laper."

"Ada. Mau makan dulu?"

"Boleh."

Mitha membuka pintu kosannya, menunggu Raden masuk, kemudian menutup kembali. Tangannya mengambil dua bungkus mie instans dari dalam laci pantry mini.

Memasak mie instan itu tanpa meperdulikan Raden yang masuk semakin dalam menyusuri kamar kosnya, keduan mengambil sebuah karpet kecil dibawah kolong ranjangnya.

"Mie Instant cukup kan." Raden mengangguk, mengambil garpu dan piring kecil, kemudian makan Mie Instan yang dimasak Mitha dengan sangat lahap.

"Duh, hujannya makin deres lagi. Lo punya jas ujan?"

"Motor aja gak punya, apalagi jas ujan. Ada tuh payung punya lo!"

Mitha menyelonjorkan kedua kakinya, menggerakkan sedikit sambil meringis, "Masih sakit?" Tanya Raden.

"Masih lah! Gara-gara lo pijet tuh, nambah sakit."

"Nyalahin gue." Raden mengumpulkan bekas makannya, menaruh pada wastafel mini, kemudian duduk kembali di samping Mitha.

Tangannya terulur, memijat sedikit pergelangan kaki Mitha, "Sakit banget."

Mitha ikut memegang kakinya, menahan nyeri. Matanya memandang tangan Raden yang sangat lihai mengurut kakinya, mantan anak futsal mah udah hapal soal kaki kesleo gini.

Di dalam kepalanya memutar ulang memori beberapa tahun yang sudah lalu, dimana Raden selalu mengurut tangan atau kakinya yang sangat sering kesleo. Dengan dekat seperti ini, Mitha menyadari beberapa perubahan dari Raden.

Tubuhnya semakin tinggi tegap dan berisi, rambutnya dibiarkan panjang tapi tetap ditata rapi, kulit sawo matangnya dulu menghilang digantikan kulit kuning langsat yang dominan putih kalau di lihat lebih dekat, dan wajahnya semakin tegas dengan pahatan rahang yang sempurna.

"Gue boleh disini ampe hujannya reda?" Mitha mengangguk pelan, memandang kembali Raden yang sibuk dengan kakinya.

flashback end

"Udahlah kamu nikah aja sama Raden. Toh, dia juga masih single ini, sahabat kamu juga kan? Mama Ayah juga udan kenal akrab kok sama keluarga Raden."

Mama mengambil tangan Mitha, menggenggam erat, "Percaya sama Mama. Raden pilihan yang paling terbaik buat kamu."

Wedding Impossible [end]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang