22 : Dua Kepala

38 3 0
                                    

Terbangun saat mendengar adzan subuh berkumandang, Raden mengucek kedua matanya saat lampu kamar tidur di nyalakan membuat terangnya ruangan.

"Udah subuh, ditungguin Bapak sholat di masjid."

Raden bangun, bersandar pada kepala ranjang mendapati Mitha yang sudah siap dengan mukena marunnya. Wajah Mitha kelihatan berseri setelah wudhu, kata siapa dia murung, buktinya sampai selesai menghamparkan sajadah Mitha kembali meliriknya.

"Lo lagi halangan? Nggak ikut jama'ah di masjid?"

Tuh kan, sifat ngeselinnya pun sudah bisa tampil padahal mau melaksanakan ibadah.

"Enggak lah. Ini mau wudhu." Mitha tak menjawab, terserah mau ngapain Raden setelah ini, yang penting ia menjalankan kewajibannya.

Selesai wudhu dan langsung turun kebawah menemui Bapak, Raden segera digiring ke masjid dekat rumah yang sangat ramai akan sholat jama'ah. Tak kelewatan pula selesai sholat mendengar ceramah singkat dari ustadz yang tadi menjadi imam.

Berjalan menuju rumah bersama dengan Bapak dan para tetangga dekatnya, membuat Raden merasakan kedamaian. Hari libur berada di rumah orangtua memang sangatlah menyenangkan, apalagi sebentar lagi masuk bulan Ramadhan. Banyak agenda yang perlu di siapkan dan harus di jalankan.

"Assalamualaikum." Ucapnya bersamaan dengan Bapak.

"Waalaikumsalam," Ibu yang masih mengenakan mukena langsung menghampiri Bapak, mencium tangannya diikuti Raden yang juga mencium tangan Ibu.

"Mitha lagi buat teh di dapur, mungkin ndak dengar." Kata Ibu yang langsung mengetahui mata Raden mencari keberadaan istrinya.

"Kamu susulin gih. Siapa tau Mitha butuh bantuan 'kan? Biar Ibu yang taruh sajadahnya." Kata Ibu.

Sementara Bapak hanya menepuk punggunya pelan, seolah tau juga permasalahan mereka berdua. Raden tau, Mitha tak akan pernah gegabah menceritakan tentang masalah mereka pada kedua orangtuanya. Hanya saja, entah raut wajah Mitha yang mudah terbaca atau pengalaman Ibu dan Bapak yang sudah berumah tangga lama, mereka bisa tau langsung.

"Mau dibantu?"

Terlihat tubuh Mitha yan berjenggit kaget sebelum berbalik ke arahnya dan mengambil sebelah tangan Raden untuk di salimi, "Nggak usah. Udah mau selesai."

Raden kaget bukan main, bibir kelu, dan mendadak juga alirah darahnya memompa ke seluruh tubuh membuat jantungnya deg-degan. Apa yang dilakukan Mitha tadi kepadanya?

"O-oh yaudah." Kabur dari dapur adalah pilihan yang paling terbaik menghindari kecanggungan.

Sampai kamar, Raden mengangkat tangan kanannya. Tadi adalah yang kedua kalinya Mitha mencium tangannya setelah di acara akad mereka.

"Gila. Gue kenapa! Malah gemeter sih."

"Kayak nggak laki banget." Cibirnya pelan masih memandangi tangan yang gemeter.

Kenapa malah Raden berasa jadi cowok-cowok yang gak pernah bersentuhan sama cewek ya? Padahal dia juga nggak jaim-jaim amat deh. Banyak kok yang sering dekat dengannya, apalagi seorang Mitha yang tak lain dan tak bukan istrinya sendiri.

Derit pintu kamar yang terbuka dan menampilkan Mitha dengan cepolan rambut biasanya, menyadarkan Raden. Seolah terpaku dengan kedatangan Mitha, ia berasa baru pertama kali melihat Mitha lagi.

"Sarapan. Tadi Ibu beli nasi kuning. Mau sekarang atau nanti?"

Sejak kapan juga Mitha jadi bertutur kata lembut dan menanyakan pendapatnya akan makan nanti atau sekarang?

"Mas?"

"H-hah, apa?"

Mitha yang tadi berdiri di ambang pintu, masuk ke dalam, mengambil sarung dari tangan Raden yang sudah dilipat, "Mau sarapan nanti atau sekarang?"

Wedding Impossible [end]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang