Selesai lebaran pertama, kediaman Mitha dan Raden kembali sepi karena para keluarga sudah pulang kerumah masing-masing, kini hanya tinggal dirinya dan Raden yang tengah bersiap melakukan perjalanan selama 8 jam.
Jarum jam menunjukan pukul 7 malam, kemungkinan mereka bisa sampai di kampung Mitha pada jam 3 subuh, kalau jalanan lancar. Mitha mengepak satu koper penuh perlengkapannya dan satu koper penuh perlengkapan Raden.
Mereka akan menginap selama dua hari di kampung Mitha dan langsung pergi lagi ke kampung Raden untuk berziarah. Selesai mengepak, Mitha memakai kaus kaki karena cuaca sedang dingin-dinginnya. Raden yang masih terlelap setelah mengantarkan Ibu dan Bapak pulang, kini belum bangun.
"Den, bangun. Berangkat sekarang aja biar nyampe sono subuh." Mitha menggoyangkan bahu Raden.
Kulit tangannya menyentuh pipi Raden karena belum bangun juga, "Kok panas. Kamu demam?"
Mitha sedikit panik, kenapa bisa Raden tiba-tiba demam, perasaan tadi biasa saja. "Pasti gara-gara nggak ganti baju pas belanja 'kan."
"Dingin, Mit."
"Duh gimana, ya." Saking bingungnya, Mitha hanya bisa mondar-mandir, masa dia harus membatalkan jadwal hari ini sampai seterusnya?
Bagimana bisa, mereka sudah janji akan lebaran kedua di kampung Mitha dan berziarah ke makam kakek nenek Raden.
"Bangun bentar deh. Aku kerikin ya? Biar mendingan, tar yang nyetir biar aku." Putusnya mengambil koin kerik di laci nakas.
Sambil membantu bangkit Raden, Mitha juga membantu melepaskan kaus yang masih dia pakai. Mitha mengoleska minyak telon ke seluruh punggung Raden, ia mulai mengerik sampai menimbulkan ruam merah.
"Merah banget. Masuk angin beneran ini. Abis kerikan minum tolak angin ya."
Raden hanya bisa mengangguk pasrah, dikerik Mitha, diberi minum tolak angin, diberi minum air hangat. Sampai lewat dari jam 8, Raden mulai merasakn enakan pada tubuhnya, ia memutuskan untuk segera berangkat agar bisa sampai subuh.
"Aku aja yang nyetir, keluar tol baru gantian sama kamu." Ucapnya telak.
Tolakan Raden sama sekali tidak di gubris, Mitha yang keras kepala betulan menyetir sendirian sampai keluar tol Solo. Karena mereka hanya berhenti satu kai di rest area untuk mengisi bahan bakar, perjalanna yang memakan waktu 8 jam, kini menjadi 7 jam.
Sampai rumah tepat saat adzan subuh berkumandang, Mitha baru merasakan pegal di kedua kakinya, terlebih betis yang langsung keram. Ia langsung menempelkan koyo yang Saras berikan tadi, sambil memijat betisnya, Mitha duduk di kursi dapur, mengamati Mama yang sedang menghangatkan makanan.
Pagi harinya pada jam 8, Mitha dan Raden melakuka sungkem pada kedua orangtua Mitha sebelum berziarah ke makam. Saat di makam, peeut Mitha merasakan kram, mungkin ia akan segera datang bulan pikirnya.
Sampai rumah pun kram perut Mitha belum mereda sama sekali, keringat dingin mulai membanjiri seluruh dahi Mitha, tangannya mulai bergemetar seperti telat makan dan asam lambung yang naik.
"Mbak, kenapa? Kok keringet dingin." Saras mengusap keringat di dahinya. "Udah sarapan 'kan tadi?"
"Udah."
Mitha duduk di sofa, mengelap keringatnya yang mengalir, "Tolong ambilin minun, Ras." Saras masuk kedalam mengambilkan segelas air untuk Mitha.
"Kenapa, Mit?" Tanya Raden sehabis mencuci kaki dan tangannya, ia mengambil selembar tisu. "Dingin. " Katanya setelah menyentuh kulit dahi Mitha.
"Nih Mbak, minum dulu."
Mitha mengambil gelas berisi air yang di sodorkan Saras, mengatur napasnya supaya lebih tenang, kedua mata Mitha memejam, bibirnya meringis menahan nyeri yang tetap tak kunjung reda.
KAMU SEDANG MEMBACA
Wedding Impossible [end]
Teen FictionSahabat katanya? Adakah pria dan wanita yang sahabatan selama bertahun-tahun tanpa melibatkan perasaan diantara mereka? Well, Paramitha Tribuana dapat dengan sombong mematahkan segala sesuatu yang mengatakan kalau bersahabat dengan lawan jenisnya...