21 : Perasaan Raden

35 3 0
                                    

"Basah semua, Pal. Kirim ulang catalog yang ada coba, biar gue cetak ulang."

Raden menggigit bibirnya kesal mendengar ucapan Nopal yang mengatakan kalau catalog yang mereka inginkan belum rampung di revisi. Hanya catalog semalam yang ketumpahan teh kotak sudah rampung revisi dan menjadi pilihan paling best. Raden menyesal tak mengikuti ucapan Nopal yang menyarankan untuk melaminating kertas-kertas itu.

"Ya mau gimana lagi. Tapi dekorasi yang udah kepilih masih ada contohnya kan? Besok gue kasih gambaran ulang deh, udah gue list juga apa aja yang mau ditambahin sih. Bisa kan?"

Sambil duduk di balkon kamar, gumpalan asap yang mengepul dari bibir merah itu tak kunjung habis. Raden setres bukan main, mendekati deadline ada aja kejadian yang aneh-aneh padahal tinggal proses deal-dealan buat fee nya ini.

"Sialan! Tau gitu mending nggak usah gue kasih minum. Lagian ngapain sih make sengaja di senggol, bikin kacau kerjaan orang aja."

Gerutuan Raden juga tak kunjung selesai, dari mulai duduk di kursi balkon sampai sekarang, ada kekesalan yang keluar dari mulutnya.

"Dan sekarang masih bisa-bisanya dia ke rumah Ibu. Nggak ada minta maaf sama sekali?" Kekehan dari mulutnya pun mulai keluar, melihat langit yang mulai menampilkan semburat jingga.

"Kayaknya beneran kosong dah otaknya. Apa malah udah pindah ke dengkul ya? Pasti dia juga nggak merasa bersalah sama sekali."

Bibirnya menghisap dalam nikotin pada sela jari telunjuk dan tengahnya, setelah itu ia hembuskan kepulan asap yang langsung bergabung dengan angin sore ini.

Raden mematikan rokok saat mendengar pintu yang menderit, menampilkan seorang cewek masuk ke dalam kamar dengan membawa beberapa paper bag.

"Masih bisa belanja ternyata."

Tanpa perlu menggubris kedatangan Mitha, Raden melanjutkan mencari soft file catalog semalam yang basah. Layar laptopnya menampilkan puluhan halaman dimana isinya berbagai catalog dengan golongan tertentu. Kedua mata yang sudah semakin memburan dan kepalanya ikutan pening, menjadi dorongan utama supaya ia bisa menyelesaikan masalah ini secepatnya.

Kini ia menyesap kopi dingin yang sudah berada cukup lama diatas meja, es batu yang bentuknya kotak tadi pun suda mencair bercampur dengan kopinya.

Pintu balkon yang di geser membuat Raden tak mengalihkan matanya dari layar laptop, apalagi kursi di depannya ikut berderit, menandakan ada yang duduk di depannya. "Ngapain." Ucap Raden saat beberapa menit tak mendengar suara.

"Duduk." Balas Mitha, memperhatikan langit yang sudah menggelap diikuti hembusan angin. Kelihatan kalau Mitha kedinginan karena hanya mengggunakan kaos pendek transparan.

Raden melihat sekilas hidung Mitha yang warnanya merah, sambil berpangku kaki wajahnya menunduk. Ia biarkan saja tanpa mau membuka suara duluan, biarin Mitha tahu kesalahan yang sudah diperbuat dan harus menyelesaikan bagaimana.

Tapi, selama beberapa jam kedepan pun Mitha tak kunjunh membuka suara dan malah diam merenung. Dia ini maunya apa sih? Minta maaf nggak mau, ngaku salah juga nggak mau.

Sampai pada akhirnya Raden menyelesaikan masalah catalognya, Mitha ikut masuk ke dalam kamar dan langsung merebahkan diri di atas ranjang untuk tidur. Sungguh tak bisa ditebak.



*****













Setelah melewati rangkaian masalah yang timbul akibat dari Mitha, akhirnya Raden dan Nopal bisa menyelesaikan dekorasi Wedding yang diselenggarakan hari ini dengan perasaan lega.

Wedding Impossible [end]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang