7 : Seminar

28 3 0
                                    

Karena Mitha lahir dari kedua orangtua berdarah asli Jawa, tak menutup kemungkinan ia harus mengikuti segala aturan dan adatnya. Apalagi menjelang hari pernikahan beberapa hari kedepan.

Tidak boleh bertemu atau berkomunikasi secara langsung dengan si Calon Suaminya, merupakan salah satu adat penting dalam tradisi Jawa.

"Kamu mau cari makan siang sekalian nggak, Mit? Mbak mau ke kantin kampus nih." Tawar Mbak Nana ketika sedang break istirahat.

"Boleh deh, aku ikut."

Mereka berdua berjalan menuju kantin kampus, entah kantin fakultas mana yang penting masih dekat sama area seminar.

Menjelang siang, kursi seminar yang banyak kosong melompong itu, segera diisi penuh. Padahal pagi tadi, hanya beberapa baris yang terisi penuh.

"Di aula FK bakal ada GS ganteng katanya, lo mau ikut nonton nggak?" Desas-desus obrolan dari gerombolan mahasiswi terdengar olehnya.

"Siapa nih GS nya, kalo yang minggu lalu dateng, gue sih yes."

"Iya! Yang minggu lalu dateng ngasih tawaran MoU itu."

"Seriusan?! Wah harus cepet-cepet nempatin kursi paling depan nih, pasti rame banget."

Sambil makan, kedua kuping Mitha dan Mbak Nana tak lepas mendengar obrolan mahasiswi yang duduk di samping mejanya. Rasanya kayak ikut flashback pas kuliah dulu, ikut seminar cuman buat nonton GS yang ganteng.

Mbak Nana pun sepemikiran dengannya, ia juga memberitahu kalau habis ini seminar dari RS nya akan ditutup dan bakal diisi lagi oleh seminar yang lain.

"Paling mentok balik jam 2, semoga aja nggak banyak yang ngasih pertanyaan ya. Hahaha."

Mitha beranjak, mengikuti langkah kaki Mbak Nana yang sudah hafal jalan ke aula tempat seminar. Saat sudah memastikan pesertanya, penutupan seminar dengan sesi tanya jawab pun dimulai.

"Baik, untuk seluruh peserta, berhubung seminar kita sudah sampai di acara puncaknya, kalian bisa memberi pertanyaan kepada Ibu Galih dan Bapak Eko seputar pembahasan tadi."

Tak banyak yang mengangkat tangannya, Mitha bersyukur acara ini selesai lebih cepat pukul 13.35. Merapihkan kembali panggung dan tata letak kursi meja seperti semula, Mitha langsung keluar aula bersama Mbak Nana.

Karena pandangannya terhalang oleh dua kardus berisi kertas absensi, Mitha secara tak sengaja malah menendang pintu keluar, membuat bekas kesleo kakinya yang hampir pulih kembali nyeri.

"Aduh!"

Ringisannya yang cukup keras mampu membuat Mbak Nana langsung menghampiri dan beberapa orang lainnya menengok, melihat Mitha yang mengaduh.

"Mitha, kamu ngak papa? Waduh kaki kamu abis kesleo kan ini, nyeri banget gak?" Mitha hanya mengangguk, tak kuat menjawab pertanyaan Mbak Nana.

Sungguh ini kaki jadi makin nyeri, padahal sudah diikat plester elastis dalam sepatunya. "Coba aku liat kakinya ya? Nanti di plester ulang." Mitha menghentikan gerakan tangan Mbak Nana, menggeleng pelan karena takut semakin nyeri.

"Kalo nggak dilihat, takut ada yang copot kancing plesternya. Mbak juga pernah kok kayak gini, jadi tau sedikit."

"Nggak usah Mbak. Mbak masih ada kerjaan kan di kantor? Katanya mau nyiapin ruang rapat juga kan? Takut ditungguin."

"Ngak papa, Mitha. Mbak bisa izin ke Pak Eko, rapatnya juga paling diundur jadi besok pagi."

Mitha semakin sungkan pada Mbak Nana, meliat aula yang kembali ditata untuk seminar berikutnya, membuat Mitha berpikir mereka harus segera keluar dari sini.

Wedding Impossible [end]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang