14 : Emosi

32 1 0
                                    

Sudah mulai masuk bulan kedua, Raden menghalalkan Mitha dengan label sebagai 'istrinya' mengetahui kebiasaan dan perubahan setiap mood nya pun, harus Raden akui sangat sulit.

Kata 'Wanita selalu benar' memang harus dan wajib dibenarkan. Karena kalo enggak, bisa-bisa mood mereka langsung anjlok ke dalam jurang yang paling dalam.

Dipikir-pikir Mitha masuk ke dalam kategori itu semua, apalagi sifatnya yang selalu ingin dituruti, keras kepala dan tidak ingin dibantah. Sangat-sangat menjengkelkan kalau dia sudah dalam mode seperti itu.

Tidak apalah Mitha baru berperilaku kayak gimana, yang penting pelayanan seorang istri pada suaminya tetap jalan. Tapi jangan langsung bilang enak dulu, karena bagaimanapun Raden tetap harus ikut campur tangan dalam melakukan pekerjaan rumah, karena kalo enggak, bisa habis dia kena semprot Mitha.

Seperti sekarang ini, "RADEN! TURUN CEPETAN!"

Raden tergopoh-gopoh menghampiri sumber suara yang meleking ngalahin speaker masjid perumahannya. "Apaan."

"Liat," Kepala Raden melongok, melihat mesin cuci yang sedang berputar itu.

"Udah diliat, kenapa?"

"Kenapa kata lo?! Masih nanya, kenapa hah?!"

Masih dengan memegang kanebo bekas ngelap mobil, Raden memundurkan kedua kakinya saat Mitha bergerak maju. "Ya 'kan gue nggak tau, makanya gue nanya."

"Yakin, nggak tau?" Seringai Mitha muncul dengan salah satu alis yang naik dan dagu terangkat songong.

"Y--yya, i--iya," Raden menelan ludahnya kasar, sedikit takut akan aura mengintimidasi Mitha.

"Coba liat sekali lagi."

Tak mau semakin diintimidasi, Raden menjauhi Mitha dan kembali melihat mesin cuci yang kini sudah berhenti menggiling baju. Tangannya mengaruk belakang kepala yang tak gatal, bingung akan kesalahan apa yang ia perbuat.

Ah!

Mungkin karena mesinnya mati, jadi ia harus menggilingnya lagi. Baiklah, Raden putar kembali tombol untuk menggiling bajunya dan Mitha, mengatur timer ke setelan 30 menit. 

"Udah." Mitha mengangkat alisnya, melihat apa yang dilakukan Raden. "Udah gue puterin lagi mesinnya." Katanya lagi.

"KENAPA MALAH LO PUTER LAGI?!!"

"Ya terus harus gue apain?! Gue yang muter gitu?" Raden bingung sebenarnya apa salah dirinya, kenapa Mitha sampai tiba-tiba marah nggak jelas gini.

Sambil berkacak pinggang, Mitha semakin kelihatan kaya Ibunya yang suka mengomel kalau ia sedang membuat kesalah, apalagi Mitha di dukung dengan baju terusan model daster yang tipisnya bakal nerawang kalo kena air.

Mitha menunjuk wajah Raden dengan gagang sapu yang ia pegang, "Siapa yang nyuci baju hari ini?"

"Gue."

Alis tipis Mitha naik sebelah, "Yang masukin baju ke dalem mesin cuci?"

"Gue lah."

"Yang masukin detergen sama air?" Matanya menatap tajam dan dalam pada Rade.

"Gue juga lah."

"Yang ngatur timernya?" Semakin maju Mitha mendekat, semakin mundur juga Raden dibuatnya.

"Ya jelas gue, lah."

Berhenti maju, gagang sapu yang masih ditodong kepadanya, semakin dekat dan mengarah di depan matanya. "Kalo gitu, kenapa nggak lo pisahin, baju berwarna sama baju putih?! Kenapa nggak lo pilihin dulu mana baju yang warnanya ngejreng sama yang kalem?! Kenapa celana sama baju lo giling jadi satu?! Kenapa malah lo giling semuanya dalam satu mesin?!!"

Wedding Impossible [end]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang