24 : Solo

38 2 0
                                    

Kata siapa penyelesaian masalah terbaik adalah dengan cara kepala dingin? Mitha, cewek kekanakan yang tingkahnya selalu ceroboh di mata Raden itu, kini meringis kesakitan saat dokter mengobati ulang luka di kakinya.

Karena belasan pesan tak kunjung di jawab dan telepon yang tak di angkat, membuat Raden dengan wajah gusar kembali ke rumah. Ia lupa memberitahu Mitha akan terjadi pemadaman lisyrik sementar dirumah dan saat akan menghubungi, ponsel Mitha malah tak aktif, berujung dirinya yang kelimpungan mendapati Mitha duduk dengan kaki bercucuran darah.

Kini dahinya bahkan sudah bercucur keringat dingin dengan bibir pucat yang menggumamkan kata sakit. Kedua tangan gemetarnya tak kunjung berangsur membaik, bahkan setelah dokter selesai membalut lukanya. Mitha nggak kelihatan seperti sedang menahan sakit, tapi malah kelihatan sedang menahan tangis.

"Sudah selesai. Salepnya bisa di olesin setiap ganti perban di malam dan pagi hari ya, jangan lupa juga lukanya nggak boleh kena air dulu, jadi kalau mandi bisa sambil diangkat kakinya supaya mempercepat pengeringan luka. Resep obatnya bisa langsung di ambil di bagian farmasi, saya permisi Pak, Bu."

Dokter beserta perawat yang menangani lukanya itupun pergi, meninggalkan kedua insan yang diam canggung, "Nangis aja." Ucapa Raden memecah keheningan.

Dirinya baru akan duduk di kursi samping brankar Mitha, sebelum Mitha berdiri dan berjalan menyeret kakinya keluar dari ruangan.

"Mau kemana?" Ia menahan lengan Mitha, membantu langkahnya yang tertatih.

"Ambil obat." Jawab Mitha, melepas serta cekalan tangan Raden.

"Tunggu sini. Biar gue yang ambil," Katanya mendudukan Mitha di bangku tunggu antrian pasien, "Nggak usah ngeyel." Raden menatap datar Mitha yang akan berdiri.

Ia menuju area Farmasi, menunggu nama Mitha dipanggil dan mengambil beberapa bungkus obat kemudian membayarnya. Sebelum kembali menemui Mitha, dibawanya kursi rod supaya mempermudah Mitha menuju parkiran.

"Gue nggak mau repot ngikutin lo yang pincang, kursi roda nggak buruk buat kaki lo." Di paksa Mitha duduk diatas kursi roda, dengan kesadaran penuh pun Mitha menutup wajah malu.

Sedangkan Raden tak merasa malu sedikit pun karena sudah biasa dipermalukan sendiri oleh tingkah Mitha sebelumnya, sampai parkiran saat akan berdiri dari kursi roda, Raden berinisiatif mengangkatnya langsung ke kursi samping kemudi. Daripada repot nunggu lama, mending sekalian aja.

Mereka saling diam dan kembali canggung dalam perjalanan, Raden merasa dibuat bingung lagi oleh sifat Mitha yang sering berubah-rubah, macam bunglon saja. Tapi terserah apa yang mau dilakukan Mitha, ia tak akan ambil pusing, toh dirinya juga masih banyak kerja yang menunggu.

"Ibu bakal dateng ke sini, gak usah buat drama lagi. Lusa kita ikut Ibu sama Bapak pulang kampung." Raden berlalu setelah mengantar Mitha sampai kamar.

Ia menuju teras rumah yang sudah di datangi sebuah mobil hitam, Ibu dan Bapa keluar dari dalam mobil tersebut sambil menjinjing satu tas besar entah isinya apa.

"Assalamualaikum, Mas."

"Waalaikumsalam, Bu, Pak." Sambil menyalimi tangan kedua orangtuanya, Raden mempersilahkan mereka masuk.

Ibu yang dari sampai masih dengan senyum ayu mengembang, mengusap pundak putra sulungnya itu. "Gimana kabar kalian? Ibu dengar, Istrimu kakinya terluka, yo? Kok bisa sih, Mas. Kamu nggak jagain istrimu dengan baik?"

"Ya bisa terluka juga karena kecerobohan dia sendiri, Bu. Lukanya nggak terlalu dalam juga kok."

"Dalam atau enggaknya luka istrimu, tetep aja kamu ndak boleh menyepelekan, Le. Ibu ndak mau kalian kenapa-napa."

Ibu menatap sendu, tangannya beralih menepuk-nepuk pelan tangan Raden. "Mitha 'kan sudah menjadi istrimu, sudah menjadi tanggung jawabmu juga 'kan."

"Iya, Bu. Ibu mau ketemu Mitha?" Ibu mengangguk, masih dengan senyum ayu nya sebelum Raden kembali ke kamar dan memanggil Mitha keluar.

Memasuki kamar, ia melihat Mitha yang sedang kesulitan membalut telapak kaki, "Ngapain sih, ganti perbannya nanti aja biar sama gue." Diambilnya perban yang masih dalam genggaman tangan Mitha.

Raden membalut dengan cepat telapak kaki Mitha yang sudah di olesi salep dokter, "Ibu mau ketemu. Sore nanti kita berangkat."

"Kita pulang kampung kemana?" Kepala Raden mendongak, alisnya mengerut heran.

"Solo. Mama yang nyuruh liburan ke sana."

Sambil di papah, Raden melingkarkan tangannya di pinggang Mitha, sedikit membungkuk juga karena tinggi mereka jauh berbeda. Ibu yang melihat kedatangan menantunya itu cepat-cepat mengampirinya dan ikut membantu.

"Maaf, Bu. Mitha ngerepotin Ibu."

"Kaki kamu ndak papa, nduk?" Bukanya menjawab, Ibu malah bertanya kondisi Mitha.

"Alhamdulillah, udah baikan."

Raden mengajak Bapak ke teras samping rumahnya, setelah ia membuatkan minuman untuk Ibu dan Bapak. Saling berbincang ringan mengenai pekerjaan dan kehidupan barunya, mereka bahkan tak sadar akan langit yang berubah warna menjadi gelap.

Masuk ke dalam, di ruang tamu Ibu dan Mitha juga asik ngobrol berdua, entah apa yang menjadi topik obrolan mereka sampai menimbulkan tawa dan semburat merah di wajah mereka masing-masing.

"Lho, kok sudah sore aja sih. Ibu kenapa ndak sadar ya."

"Kebayakan ketawa sih, kita sampe lupa belum makan siang 'kan." Timpal Raden yang mengambil duduk di samping Mitha.

Bapak pun sama, ia mengambil duduk di samping Ibu, "Kita berangkat sekarang aja, sekalian makan di luar. Gimana?"

"Boleh, Ibu juga lagi kepengin makan soto betawi, Pak."

"Kalau begitu, Mitha ambil koper baju dulu di kamar. Sekalian bebersih badan, Ibu sama Bapak mau Mitha siapin air hangat buat bebersih?" Tawar Mitha pada kedua mertuanya.

"Nggak usah, nggak usah. Ibu sama Bapak siapin sendiri aja, gih kamu juga siap-siap ya."







*****









Sampai di area tempat makan berbagai masakan Nusantara, Ibu dan Bapak melangkah menyusuri berbagi makanan yang di jajakan, meninggalkan Raden dan Mitha. Mereka tadinya ingin ikut menyusuri deretan makanan bersama Ibu dan Bapak, tapi langsung dilarang karena kondisi kaki Mitha.

"Kamu temenin Mitha, makan di dalam mobil saja. Bapak sama Ibu nggak lama, mau nyari soto betawi." Kata Bapak yang mendapat persetujuan Ibu.

"Mau Ibu beliin sekalian? Kalian mau makan apa?"

"Nggak usah repot, Bu. Biar kami beli sendiri." Mendapat senggolan dari siku Mitha, Raden pun ikut mengangguk.

"Ibu sama Bapak duluan aja. Biar Mas sama Mitha makan di mobil."

Setelahnya, Ibu dan Bapak baru benar-benar meninggalkan mereka berdua di dalam mobil masih dengan keadaan menyala. Raden yang sedari tadi kelaparan pun akhirnya memilih untuk membeli bebek rica-rica karena letaknya tak jauh dari tempat mereka.

Sementara Mitha lebih memilih untuk makan ketoprak, dan langsung dibelikan Raden. Mereka makan dengan tenang tanpa ada obrolan apapun, walau tetap dengan lirik-lirik karena agak canggung.
Beberapa menit berikutnya, Ibu masuk dan duduk di kursi samping kemudi dengan kedua tangan penuh memegang kresek disusul oleh Bapak yang juga menjinjing kresek.

"Ibu beli cemilan buat nanti di jalan. Kayaknya kita bakal sampe subuh, nanti kamu gantian nyetir sama Bapak ya, Le. Oh iya, kalian udah makan?" Ibu berbicara panjang.

"Udah. Baru aja selesai. Nanti dari tol Cikampek sampe Solo, biar Raden aja yang bawa, Pak." Tawar Raden yang langsung diterima oleh Bapak.

Wedding Impossible [end]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang