Terbangun suara kencang yang menggangu tidurnya, telinga Mitha sayup-sayup mendegar suara dari sound sistem dengan banyaknya iringan drum dan kaleng biskuit.
Mengucek kedua matanya, Mitha merasakan dingin menusuk kulit tubuh sampai dalam dan apa ini? Kenapa bisa ada lengan tangan melingkari pundaknya?
Mitha merasa sesak, seperti ada yang menimpa jantungnya, napasnya mulai menarik panjang dan berhembus cepat, saat kakinya ingin menggosok seprai kasur kenapa ada kaki lain yang menindih kakinya, berat sekali.
Kejadian-kejadian tadi sore secara cepat berputar di kepala Mitha, dengan penuh kesadaran ia melongo tak percaya, berbalik menghadap orang yang sudah setengah tahun menjadi teman tidurnya, Mitha dibuat melotot dan menggigit bibir.
Mereka hanya dibalut selimuti tebal! Tanpa pakaian sama sekali!
Oh astaga! Kenapa Mitha bisa jadi cewek murahan yang mau-mau saja melakukan hubungan badan, ya meski dengan suaminya sendiri. Tapi 'kan, mereka sahabat!
Raden menggeliat saat suara sound sistem tak kunjung berhenti dan malah semakin kencang, rasanya seperti sengaja membangunkan dirinya. "Siapa si yang nyalain sound sistem kenceng banget."
"Den. Bangun."Mitha berbisik, berusaha melepaskan lilitan tangan dan kaki Raden. "Udah mulai sahur, Raden."
"Hmm bentar lagi. Aku capek, Mit."
AKU?!
Demi apa Raden ngomong aku? Mitha mengorek telinganya, apakah ia salah dengar atau tidak. "Udah jam setengah 3 buru-buru sahur kalo nggak mau telat."
"Nanti, Mitha."
Ia cubit dengan kencang punggung tangan Raden sampai yang di cubitnta bangun, menendang kasar kaki yang membelit kakinya, Mitha mengambil selimut dan langsung mandi, keramas karena akan menjalankan puasa. Terserah dengan Raden yang mengaduh diatas kasur.
Dengan langkah lebar walau sangat sakit dan perih bukan main di pangkal pahanya, Mitha memaksakan diri agar bisa berpuasa di hari pertama. Melihat dari pantulan kaca kamar mandi seluruh rahang, leher, tulang selangka, lengan, dada, perut, pinggang, sampai paha pun banyak sekali bekas gigitan Raden.
"Anj! Raden Sialan Megantara!" Desisnya pelan.
Bahkan bibir bawahnya pun sedikit bengkak dan terluka sedikit, Mitha dibuat spechlees oleh Raden. "Ternyata napsuan banget, dasar lakik!"
Mitha mulai membersihkan diri, untuk saja dapur masih gelap dan belum ada yang bangun. Padahal biasanya jam segini Mama udah siap-siap buat menu sahur, syukurlah kalau mereka masih tidur, Mitha bisa dengan aman keluar masuk kamar.
Karena merasa ada yang mengalir dari pangkal pahanya, Mitha melihat bercak merah disana, "Masa baru pecah perawan sih." Gumamnya.
Memilih acuh dan kembali melanjutkan mandinya, tak membuat sesuatu dari pangkal pahanya itu berhenti mengalir, Mitha baru sadar saat ia sudah selesai mandi, "Astaga haid."
Kelabakan Mitha mencari stok pembalut di dalam tas khusus kamar mandi, tidak adakah sisa pembalut yang biasa Mama gunakan atau Saras gitu. Seluruh isi tas, Mitha acak-acak sampai gedoran dari luar kamar mandi terdengar.
"Mitha, gantian."
Ada Raden di luar, haruskah ia minta tolong diambilkan pembalut di dalam lemarinya?
"Ngapain sih di dalem, lama amat." Gedoran pintu kembali membuat Mitha dilanda bingung.
Masa ia harus nyuruh diambilkan barang pribadi miliknya sih, malu. Walaupun sudah enam bulan menjadi suaminya, Raden mungkin tak pernah melihat barang itu, kalau disuruh pun tau nggak ya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Wedding Impossible [end]
Teen FictionSahabat katanya? Adakah pria dan wanita yang sahabatan selama bertahun-tahun tanpa melibatkan perasaan diantara mereka? Well, Paramitha Tribuana dapat dengan sombong mematahkan segala sesuatu yang mengatakan kalau bersahabat dengan lawan jenisnya...