"Ma, kaos yang kemarin Mitha pakai kemana?"
"Di lipetan baju, belum di gosok."
"Nggak ada, Ma. Udah dicari nggak ketemu, mau Mitha pakai."
"Cari yang bener. Kalo nggak ada, pakai yang lain aja."
"Nggak mau. Mau pakai kaos itu."
"Kaos kamu 'kan banyak, Mbak. Pakai yang lain dulu toh."
"Nggak mau! Pokoknya nggak mau!"
Sudah hampir satu jam lamanya Mitha meminta dicarikan sebuah kaos oblong berwarna hitam dengan gambar abstrak, membuat Mama harus turun tangan mencarikannya. Katanya Mitha lagi pengin pakai kaos biar adem, padahal musim hujan di Solo masih belum berakhir.
Karena Mitha tak bisa menemukan kaos dalam tumpukan baju yang belum di gosok, Mama berinisiatif mencarikan kaos lain untuk di pakai dan langsung di tolak oleh Mitha.
"Mitha nggak mau pakai itu. Mau kaos yang kemarin di pakai aja." Katanya, tubuh yang masih di balut baju kimono mandi berwarna biru sebatas betis dan rambut yang masih tergelung oleh handuk membuat Mitha bergetar menahan dingin.
"Mama baru cuci tadi. Masi di jemuran, anyep, belum kering. Pakai kaos yang lain dulu ya."
"Nggak mau, Ma. Tungguin sampe kering aja deh."
Mitha dan keras kepalanya, mampu membuat Mama menahan tensi darahnya supaya tidak naik. Putri sulungnya itu sudah berkali-kali membuatnya pusing hanya karena hal-hal kecil seperti ini. Mama tak tau kaos siapa itu sebenarnya, karena Mitha bersikeras ingin tetap memakai kaos itu. Dapat Mama simpulkan itu adalah kaos Raden.
"Pake kaos Raden yang lain aja deh. Mama keburu pusing liat kamu menggigil begini, Mbak."
"N-nngapain! A-aku nggak mau pake kaos Raden kok."
Mitha dan gengsi tingginya. Mampu membuat Mama membuang napas gusar. Ia tahu kalau Mitha sedang dilanda rindu pada suaminya itu, tapi bukannya menelpon atau melakukan panggilan video, Mitha malah selalu ingin berdekatan dengan Raden lewat sesuatu yang sering bersinggungan dengan Raden.
Itu baru satu masalah, belum yang lainnya tatkala Mitha yang tiba-tiba memesan tiket pesawat tujuan Palembang dengan alasan ingin makan pempek di kotanya langsung sambil berlibur sebelum melahirkan, membuat Ayah kelimpungan saat mencari keberadaannya yang sudah duduk di kursi bandara.
"Nak! Kamu ngapain toh pesan tiket pesawat tiba-tiba. Mama khawatir di rumah nyariin kamu yang ilang tiba-tiba.
"Mitha mau liburan, Yah. Sebelum lahiran, Mitha mau makan pempek Palembang di kotanya langsung." Gigi rapi Mitha tertampil dengan wajah sumringahnya.
"Jangan sekarang. Tunggu suamimu pulang aja. Bahaya kalo berangkat sendirian, nggak ada yang jagain kamu."
"Nggak mau! Mitha mau makan pempek di Palembang! Pokoknya harus di kotanya langsung."
"Ayah gak izinin! Ayo pulang!"
"Ayah, nggak mau."
Mitha terus merengek, sepanjang jalan menuju rumah telinga Ayah sampai hampir dibuat berdengung oleh rengekan Mitha yang terus meminta ingin pergi ke Palembang.
Sampai rumah Mama langsung berhamburan memeluk Mitha, wajah basah karena menangis tak diberi izin ke Palembang, semakin membuat Mama khawatir karenanya.
"Mbak kangen sama Raden?" Mitha menggeleng dalam pelukan Mama. Tingginya rasa gengsi Mitha membuat Mama dan Ayah kesulitan mencari cara.
"Vidio call aja, mau ya? Ayah yang telpon kok."
KAMU SEDANG MEMBACA
Wedding Impossible [end]
Teen FictionSahabat katanya? Adakah pria dan wanita yang sahabatan selama bertahun-tahun tanpa melibatkan perasaan diantara mereka? Well, Paramitha Tribuana dapat dengan sombong mematahkan segala sesuatu yang mengatakan kalau bersahabat dengan lawan jenisnya...