8 : Pra Pernikahan

26 3 0
                                    

Setelah berhasil mencaci maki kelakuan Raden kemarin sore dan membuatnya membeli plester baru di apotek kampus, Mitha kembali dibuat pening oleh mama.

Pagi-pagi baru bangun tidur, kaki masih sakit, jalan juga masih pincang, Mama masuk ke kamar Mitha dan menyuruhnya untuk mencoba beberapa kebaya.

"Kamu gantinya sambil duduk aja. Jangan banyak gerakin kaki dulu, tar malah nggak cepet sembuh." Kata Mama mendorong beberapa kebaya yang masih digantung ke arah Mitha.

Wajah Mitha bertekuk malas, "Gimana nggak mau banyak gerak! Disuruh ini disuruh itu, dikira begini juga nggak banyak gerak apa." Gerutunya.

Membuka piama tidurnya dengan menyisakan tanktop, Mitha memakai bergantian semua kebaya yang disuruh mama.

"Duh, ukurannya nggak ada yang ngepas banget apa? Kalo kendor begini, tar gue dikira make tunik bukan kebaya."

Sambil memilih, Mitha juga merasakan kenyamanan kebaya yang bakal ia kenakan. "Yang ini aja deh."

Pilihannya jatuh pada salah satu kebaya dengan model simple dan tak banyak pernak-pernik. "Ma! Mitha udah milih ni."

Mama masuk saat dipanggil, "Cepet amat, yang mana pilihan kamu?"

"Ini." Jari Mitha menunjuk kebaya yang ia pilih tadi.

"Simple amat sih modelnya. Ini buat kamu yang nikah, apa buat bridesmaid kamu?" Mama melayangkan protes saat melihat pilihan kebaya Mitha yang sangat simple.

"Buat aku lah. Bridesmaid kan udah aku kasih baju tersendiri."

Niat sekali kan perencanaan pernikahan dadakan ini. Baju antar besan, bridesmaid, sampai seragam penjaga prasmana pun disiapkan oleh Mama. Katanya sih hitung-hitung buat orang ikut seneng.

"Yakin? Nggak banyak model lho ini." Justru itu, Mitha nggak mau ribet perkara model kebaya doang buat akad.

"Nggak mau yang bling-bling cantik gitu?" Buat apa? Toh akad nya juga sebentar, abis tu ganti baju adat buat resepsi.

"Nggak mau. Mitha nanti pasti capek gonta-ganti baju adat, ada berapa tuh? 3 baju kan." Niat banget kan resepsi gonta-ganti sampe 3 baju gitu.

Kurang apa coba Mitha menyanggupi semua permintaan dari mama di pernikahan nanti. Sukur-sukur kakinya bisa cepat pulih, biar bisa pake heels, supaya tingginya nggak kelihatan pendek banget disamping Raden.

"Abis akad ganti baju pertama, masuk makan siang ganti lagi sampe sore, sore sampe malemnya kalo masih ada tamu juga ganti lagi. Gila ma, Mitha nggak bisa bayangin sebanyak apa kaki Mitha melangkah nanti." Mitha mendramatis saat membayangkan betapa sakitnya kaki Mitha yang belum pulih sempurna ini.

Mama mendengus, memisahkan kebaya yang ia pilih tadi, "Lebay banget. Kemarin abis ketemu suami juga diaterin ke sini."

"Calon, Ma! Masih Calon!"

"Suka-suka Mama lah. Kamu sarapan dulu gih, mumpung di dapur ada Saras sama Ayah, keburu rame nanti."

Kedua tangan Mitha diangkat, "Tuntunin, Ma. Kaki Mitha masih sakit." Dengan cengirannya, Mitha menampilkan wajah melas.

Sedangkan Mama geleng-geleng kepala melihat kelakuan putri sulungnya semakin manja, "Kamu bentar lagi nikah, jadi istri orang, jangan manja-manjaan lagi sama Mama Ayab. Malu diliat suami."

"Suka-suka Mitha lah."







*****









Malam ini kediaman Bapak Adi sangat ramai, beberapa tikar yang digelar sampai depan pintu masuk pun telah diisi penuh oleh para tetangga. Ruang keluarga yang menjadi sasaran Mama guna mengumpulkan tetangga perempuan juga tak luput dari penglihatan Mitha.

Untung Mitha sudah makan malam lebih awal, benar kata Mama kalau kediamannya akan sangat ramai seperti ini. Saras yang menjadi teman Mitha duduk disamping dengan anteng, ikut menyuarakan berbagi doa.

Acara penting berikutnya sebelum menuju pernikahan, yaitu syukuran. Dimana pada kerabat dekat dan tetangga mengisi kediaman Mitha dengan memanjatkan berbagai doa supaya mendapat kelancaran dalam pelaksanaannya.

"Mbak Mitha akhirnya nikah juga, ya. Saya ikut senang dengar kabar ini."

Mitha mengulas senyum kepada ibu-ibu yang duduk melingkari dirinya. "Alhamdulillah, bu."

"Iya, calonnya Mbak Mitha juga ganteng banget lho. Asli orang jawa juga ya, Mbak?"

Haha, sudah berapa kali Raden dipuji ganteng oleh ibu-ibu tetangganya. "Iya bu, asli Semarang."

"Wahh... Pasti nanti calon anak-anak Mbak, bakalan cantik/ganteng. Wong, Mbak sama Masnya aja sama-sama cakep kok."

Haha, jauh sekali pembahasan ini. Anak-anak? Mitha saja belum sampai mikir kesitu.

"Mitha belum mikir sampai kesitu, bu."

"Lho, kenapa belum? Dalam pernikahan memikirkan momongan juga jadi salah satu hal yang wajib, Mbak. Selain pekerjaan, tempat tinggal, gaji, sampai masalah kecil membayar iyuran, harus segera dibicarakan dengan pasangan ya, Mbak."

Mitha mengangguk, ekor matanya melihat mama yang masih duduk sibuk ngobrol sama Uti di sebrangnya. Lengan Mitha menyenggol Saras dengan sengaja, "Anterin Mbak ke kamar mandi, dek."

"Permisi, bu. Mbak Mitha mau ke kamar mandi sebentar." Saras berdiri, membantu serta Mbak nya supaya ikut berdiri.

Ibu-ibu yang duduk disamping Mitha pun membantu memapah sampai depan kamar mandi. "Kaki Mbak Mitha kenapa itu?"

"Tadi saya tanya, katanya kesleo lagi. Plesternya juga masih dipake."

"Waduh, waduh. Mbak Mitha mau nikah dengan kaki seperti itu?"

"Nggak boleh bu, emangnya?"

"Bukannya nggak boleh. Tapi kasian kalo berdiri lama diatas pelaminan, takut kecapean, terus gagal malam pertama deh." Kata si Ibu-ibu berkerudung merah, membuat yang lain ikut tertawa.

Mitha dengar sedikit soal pembahasan dirinya. Setelah anak, kini malam pertama yang bakal jadi momok tersendiri oleh Mitha.

Dirinya juga belum siap kalau disuruh berhenti bekerja, apalagi resign di saat sudah menikah, pasti bakal bosen banget dirumah nggak ada kerjaan.

Sebuah ide melintasi kepala Mitha, membuat perjanjian pra pernikahan nggak ada salahnya kan? Toh demi kebaikan antara dirinya dan juga Raden. Raden juga kalau mau bisa membuat point-point tertentu.

Perjanjian pra pernikahan inilah nantinya yang bakal jadi tujuan akan dibawa ke arah mana masa depannya saat hidup bersama orang lain yang akan menjadi suaminya nanti.

"Ras, Mbak masuk ke kamar ya. Kalo ditanyain, bilang aja Mbak istirahat." Saras mengangguk, menuntun Mitha beralih menuju kamar.

Sampai kamar, Mitha langsung membuka Word dan menuliskan judul 'Perjanjian Pra Pernikahan' sebagaimana pihak pertama adalah dirinya dan pihak kedua adalah Raden

1. Kedua belah pihak saling memberi izin masalah pekerjaan, selagi tidak mengganggu pernikahan.

2. Pihak pertama meminta tempat tinggal yang tak jauh dari tempat kerja kedua belah pihak.

3. Pihak pertama bebas mengatur tata letak isi rumah nantinya dan Pihak kedua diberi kebebasan untuk memberikan saran masukan kepada pihak pertama.

4. Pihak kedua dilarang mencari keuntungan kepada pihak pertama.

Dan.... seterusnya masih panjang menciptakan 2 halaman penuh.

Wedding Impossible [end]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang