"Alhamdulillah, kondisi Ibu Mitha tidak buruk seperti yang di bayangkan saat berada di klinik tadi. Selamat juga karena keluarga akan mendapat anggota baru, Ibu Mitha dinyatakan Positif hamil dua minggu."
Deg.
Berulang kali ucapan dokter yang menangani Mitha di RSUD terngiang di kepala Raden. Berulang kali juga dirinya mengusak rambut dilanda bingung. Ini salahnya. Salah karena tidak berdiskusi mengenai kelanjutan pernikahan antara dirinya dan Mitha, bahkan soal anak pun mereka sama sekali belum menyinggung.
Selembar kertas berisikan informasi hasil laboratorium mengenai Mitha yang sedah mengandung, tak juga ia buka sedari tadi. Mama, Ayah dan Saras sudah tau kalau Mitha tengah mengandung, mereka sangat senang, bukan berati Raden tidak ikut senang.
Dia hanya, bingung?
"Den, Ayah sama Mama mau cari makan siang dulu. Saras juga pamit buat ambil baju ganti kalian. Kamu temani Mitha di dalam ya."
Ayah dan Mama yang baru keluar dari kamar rawat Mitha, meminta izin. "Mitha udah sadar tadi, lagi istirahat aja di dalam. Gih temani."
Mau tidak mau, Raden mengangguk, tersenyum menanggapi perminta mertuanya. Masuk ke dalam, nuansa yang menyambutnya sama seperti di klinik tadi pagi. Putih dengan pencahayaan terang dan bau obat-obatan menguar.
Menarik kursi, ia duduk di sebelah kanan Mitha, melihat kantung cairan infus yang sebentar lagi sudah saatnya di ganti. Matanya menatap lembut wajah Mitha, bibir pucat, hidung memerah dan perut datar itu.
"Aku hamil, ya?"
Tersentar dari pandangannya, Raden menatap Mitha. "Menurut mu gimana?"
Mitha berkata tanpa melirik sedikitpun ke Raden, matanya fokus memandang langit rumah sakit, seperti ada yang lebih menarik darinya.
"Ya gak gimana-gimana, toh ada Bapaknya ini 'kan." Jawab Raden jenaka. Ia tak mau membuat suasana hati Mitha terganggu karena ucapan nyeleneh darinya.
"Bukan itu." Katanya lagi.
Memajukan kursi menjadi lebih dekat brankar Mitha, tangan Raden mengambil tangan Mitha, dia genggam tangan kecil yang terbalut infus. Rasanya dingin namun hangat dalam seketika.
"Gue tau apa yang lo maksud." Ibu jari Raden mengelus pelan, matanya tak mengalih dari genggaman mereka.
Raden tersenyum, mencoba memberikan kata positif yang akan ia ucapkan. "Mama, Ayah sama Saras. Mereka seneng banget pas tau lo hamil, Ibu sampe langsung di hubungi buat ngasih tau kabar ini."
"Kamu?"
Pandangan Raden naik, menatap Mitha yang juga sedang menatapnya, "Gue?"
"Kamu seneng juga?"
"Kenapa enggak." Bergerak mengelus lembut, genggaman tangan Raden menyalurkan rasa hangat.
Terlalu banyak isi pikiran yang terus berseliweran, karena sudah terlanjur terjadi, kenapa juga harus dihindari? Toh semua yang mereka berdua lakukan tidak ada salahnya. Mereka pasangan suami istri, sudah sah secara agama dan negara. Lalu, apa yang di khawatirkan?
Merancang semuanya dari awal? Sepertinya sudah sangat telat untuk mereka. Tapi, bagaimana kalau melanjutkan semuanya dengan usah yang terbaik?
Mungkin tidak ada salahnya. "Ayo, lanjutin semuanya dengan usaha terbaik kita."
Mitha tersenyum, mata bulatnya yang hampir merah itu, kembali membuat lekungan cantik. Bibir pucat yang masih setia menghiasi, menampilkan senyum manis.
Kini dengan kesadarannya, tangan Mitha ikut menggenggam. Kepalanya mengangguk, setuju dengan ucapan Raden. Semua yang terjadi sudah terlanjur, tidak ada satu kejadian yang tidak mempunyai sebuah alasan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Wedding Impossible [end]
Teen FictionSahabat katanya? Adakah pria dan wanita yang sahabatan selama bertahun-tahun tanpa melibatkan perasaan diantara mereka? Well, Paramitha Tribuana dapat dengan sombong mematahkan segala sesuatu yang mengatakan kalau bersahabat dengan lawan jenisnya...