Remaja SMA yang kini sudah beranjak menjadi wanita dewasa itu berjalan cepat sesekali saat kedua kakinya keluar dari transportasi umum KAI. Hidup di Jakarta dan menjadi budak korporat, membuat wanita dengan kalung identitas yang tergantung bernama 'Paramitha Tribuana' itu harus pintar - pintar dalam mengatur perekonomian.
Apalagi hidup yang bergantung oleh pekerjaannya di sebuah Instansi Kesehatan Negara, menurut Mitha ia beneran lintas jalur dari pendidikan yang sudah ia tempuh lama. Ya, walaupun gaji dan beban kerjanya masih bisa dibilang seimbang, apalagi ditambah tunjangan-tunjangan hidup yang sudah pasti menjamin kesejahteraan.
"Masih ada waktu."
Paramitha atau yang akrab dipanggil Mitha itu mengorek isi tote bag yang dibawa, mencari benda persegi dan mengeluarkan beberapa lembar kertas beragam warna untuk ditaruh di dalam saku celananya.
Kaki jenjang yang dibalut celana bahan panjang dan sneaker putih, membuat gaya casual khas pekerja Ibukota. Namun, tidak dengan atasan blouse panjang yang sudah mencuat dari dalam selipan celananya, ditambah wajah berminyak dan rambut lepek.
"Astaga, dosa apa gue di masa lalu." Helaan napasnya terdengar kasar ketika melihat rintik hujan kembali mengguyur tempat rantaunya.
"Hujan sialan! Kenapa turunnya nggak pas gue udah nyampe kosan sih. Kan' enak pulang kerja langsung tidur." Mitha meringis merasakan dinginnya cipratan air yang mengenai sebagian wajah.
"Make tampias segala lagi. Disini gak ada yang jualan payung apa?"
"Permisi mbak, mau beli jas ujannya? Biar nggak keujanan mbak." Tiba - tiba seorang pedagang kaki lima yang ikut berteduh, menawarkan jualannya dan langsung ditolak Mitha dengan senyum manis dan gelengan singkat.
"Maaf pak, nggak dulu." Sang pedagang kemudian juga ikut tersenyum menanggapi.
"Kalo gue bawa motor juga bakal gue beli kali jas ujannya. Gak liat apa yang gue butuhin sekarang payung!" Gerutuannya keluar saat si pedagang berjalan menjauh.
Berjalan mencari tempat duduk, wanita berusia 23 tahun dengan gontai menyusuri area stasiun yang ramainya bukan main guna mencari tempat duduk.
Wajar kalau stasiun malam ini ramai, apalagi menjelang akhir pekan. Juma't yang di gadang - gadang menjadi hari paling berkah bagi sebagian manusia belahan bumi ini, tak memungkiri kalau Mitha malah menganggap hari ini sebagai hari paling memuakkan.
Bayangkan saja, sudah hampir 2 jam lamanya hujan deras yang mengguyur tak mau berhenti barang sekejab. Aksi lembur yang disanggupi Mitha karena bonus fee nya bukan main, ternyata tak membuatnya senang berkepanjangan.
"Anjir udah mau jam 10 aja sih. Gak ada stop kontak buat nge-carge hp gue lagi. Mau balik naik apa coba."
Kaki yang kini dibalut sandal jepit andalan khas anak kosan, menyelonjor. "Yakali mau nunggu disini ampe besok sih! keburu mati menggigil badan gue."
Siapa yang tahu kalau Jakarta di musim hujan begini, dinginnya bisa ngalahin suhu kota Bandung. Ketambahan kena tampias dan setelan kerjanya hampir basah semua, Mitha sampai dibuat mengigil.
"Apa gue balik aja ya ke Bogor. Sampai stasiun bisa minta jemput." Belum sampai satu detik setelah mengatakan itu, kepala Mitha menggeleng dengan cepat.
"Nggak bisa, nggak bisa. Kalau malah disuruh nikah lagi, gimana nasib gue?"
"Haaaa Mama... " Rasanya Mitha pengin nangis aja sekarang. Badannya sudah pegal bukan main, kedua kakinya juga capek habis lari demi ngejar kereta terakhir malam ini.
"Ya Allah... Tolongin hamba mu ini yang banyak dosa, meski banyak dosa ibadah 5 waktunya tetep dijalanin kok" Mitha mengerjabkan matanya melihat sekeliling, takut - takut ada yang mendengar doa berikutnya yang akan dipanjatkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Wedding Impossible [end]
Teen FictionSahabat katanya? Adakah pria dan wanita yang sahabatan selama bertahun-tahun tanpa melibatkan perasaan diantara mereka? Well, Paramitha Tribuana dapat dengan sombong mematahkan segala sesuatu yang mengatakan kalau bersahabat dengan lawan jenisnya...