Kembali terbangun di dalam pelukan seorang Raden Megantara yang sudah lama kurang lebih empat bulan ini meminjamkan lengannya untuk menjadi bantalan Mitha, ia mengendus aroma khas yang menguar dari tubuh Raden.
Selama empat bulan setelah kepulangan Raden, mereka kembali ke rumah yang ada di Jakarta setelah mendapat izin dari kedua orangtua Mitha dan Raden untuk kembali hidup di rumah mereka sendiri.
Rambut berantakan yang kusut, mata sipit yang masih tertutup rapat dengan bula mata tak panjang, hidung mancung khas seorang laki-laki, rahang tegas dan bibir merah dengan sedikit kumis tipis, membuat Raden nampak sangat tampan. Mitha berharap semoga kalau anaknya laki-laki bisa se tampan Raden.
Jari telunjuk Mitha terus menyusuri area wajah Raden, sampai, "Aduh!" Jarinya di gigit Raden saat berhenti sejenak di belahan bibirnya.
"Kok di gigit sih! Lepasin, sakit tau." Bukanya melepas gigitannya, ujung bibir Raden malah terangkat, kelopak matanya terbuka memandangi Mitha.
Mitha menaikan kedua alisnya, "Lepasin."
Kepala Raden menggeleng, tak ingin melepaskan gigitannya yang sengaja ia tahan. Mitha melotot, alisnya menukik, menampilkan wajah kesal. "Raden."Geramnya tak tahan oleh ke jahilan Raden.
Lidah Raden menyapu lembut jari telunjuk Mitha sebelum ia emut dan gigit kembali, Raden melepaskan jari Mitha dari mulutnya sebelum kena omel. Karena mendapati wajah bengong dan syok Mitha, Raden langsung turun dari ranjang lari ke kamar mandi, "RADENN!!!" Tuh kan.
Kedua kaki yang di balut sandal karet dalam rumah, melangkah menuju pantry, duduk dibatas kursi sambil memperhatikan punggung sang istri yang berjalan seperti tanpa ke sana dan ke sini. Memotong, menumis, meniriskan masakan yang sudah jadi ke dalam piring.
Saat menaruh di atas meja pantry, pandangan mereka bertemu, Mitha yang masih memandang jengkel dan Raden yang memandang sumringan dengan cengiran khas pepsodent.
"Jangan merengut mulu, tar cepet tua. Sini duduk, sarapan." Menepuk kursi di sampingnya, Mitha ikut duduk.
Tangan Raden dengan telaten, menyiapkan makanan yang akan Mitha makan, menyuapinya dengan senang hati dan terus memandanginya tanpa bosan sekalipun.
"Hari kelahirannya kapan?"
"Seminggu lagi."
"Udah nyiapin perlengkapan?" Mitha menggeleng, dibilang selama ia mengandung, rasa malasnya datang entah dari mana. Masak sarapan aja kadang dia juga malas.
"Belum."
"Yaudah, nanti aku aja yang siapin."Dengan senang hati pun Raden membantu Mitha. "Nanti jadi nggak pergi sama Sera?"
Mitha berpikir sejenak, ia memang sudah buat janji Minggu ini akan jalan bersama dengan Sera belanja perlengkapan tambahan untuk bayinya. Namun, Sera masih belum memberi kabar sampai sekarang.
"Nggak tau. Kayaknya nggak jadi deh, Sera bilang dia bakal nyempetin waktu, soalnya lagi sibuk mau akreditasi RS."
Raden mengangguk, ikut menyuapkan dirinya makan, "Kalo nggak jadi. Sama aku aja belanjanya."
"Nggak mau ah!" Mitha langsung menolak keras. Oh ayolah, ingatkan Mitha pada bulan ke empat saat Raden bekerja di luar kota dan membeli banyak barang random yang terus dikirimkan ke rumahnya di Solo.
"Kamu kalo di ajak belanja, suka asal ambil barang. Nanti bukanya bermanfaat malah kebuang kaya dulu lagi."
"Nggak ada yang nggak bermanfaat buat bayi kita, buktinya kamu mau tuh ikut kelas yoga gara-gara aku beliim karpet yoga."
Mitha mendengus, Raden dengan sifat menjengkelkannya kembali keluar, "Terpaksa itu!"
"Terpaksa kok sampe dibawa ke sini barangnya." Ia melirik pada sebuah karpet yang belum tergulung dan sebuah bola besar berbahan dasar karet di sudut rumah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Wedding Impossible [end]
Teen FictionSahabat katanya? Adakah pria dan wanita yang sahabatan selama bertahun-tahun tanpa melibatkan perasaan diantara mereka? Well, Paramitha Tribuana dapat dengan sombong mematahkan segala sesuatu yang mengatakan kalau bersahabat dengan lawan jenisnya...