6 : Calon Pengantin

25 2 0
                                    

"Cie.. Calon pengantin... Cie... "

Udara pagi yang dingin karena habis hujan semalaman, disambut oleh tingkah Sera. "Tumben dateng duluan, dianter Calon Suami ya." Kerlingan mata Sera, membuat Mitha bergidik jijik.

"Dianter lambe mu! Mumet gue nih!"

Sera dengan sigap berdiri di belakang kursi Mitha, memijat pelan pelipis sang sahabat, "Calon pengantin nggak boleh sampe mumet! Nanti pas nikahan malah sakit."

Mitha berdecak, "Apasih, Ser."

Tangan kiri Mitha merogoh totebag putihnya, mengeluarkan beberapa kertas tebal yang masih di segel dan terbalut rapi oleh plastik.

"Nih, buat lo. Punya Mas Alan sama Bang Chan tolong taroin di atas meja dong."

Sera mengambil kertas besampul hitam silver itu, Save the Date 2021.01.21 "Buset minggu depan banget lo nikah, Mit?"

"Pantes mumet."

"Siapa yang mumet? Eh undangan dari mana nih? Paramitha Tribuana and Raden Megantara." Bang Chan membaca sederet nama yang terpampang jelas pada cover undangan bersampul putih debgan list silver.

"Widih, beneran mau nikah, Mit? Katanya nggak mau."

Sera melempar paper klip ke arah Bang Chan karena tertawa meledek, "Bang jangan gitu, tar berubah pikiran lagi dia."

"Semoga lancar acaranya sampai akhir ya." Ujar Mas Alan yang langsung menyimpan undangan.

"Makasih, Mas."

Semua berjalan biasa saja menjelang H-7 hari pernikaha Mitha yang dipersiapkan langsung oleh seluruh keluarganya dan keluarga Raden. Tak perlu khawatir soal venue atau WO, Mitha baru dikasih tau Raden setelah acara lamaran itu kalau ternyata Raden adalah seorang Manajer dari salah satu WO yang ada di Jakarta.

Venue, pernak-pernik, bunga, katering, sampai semua yang menyangkut kelancara acara pernikahan minggu depan, sudah disiapkan dengan matang dan rapih oleh Raden.

Mitha tak perlu ikut meninjau lokasi, hanya saja ia tetap ditanyai saran apa saja yang diinginkan saat acara berlangsung nanti. Tak luput juga baju adat yang akan dikenakan mereka nanti saat melaksanakan resepsi setelah akad.

Gila! Kepala Mitha ingin meledak ditanyai saran ini, saran itu, ternyata pernikah bisa se-ribet ini. Pantas saja cutinya harus segara diajukan kata Mama.

"Mitha, lo mau ambil cuti mulai kapan?" Bang Chan menatap dari kaca kubikel kami yang berhadapan.

"Kamis kayaknya udah ambil cuti, Bang. Kenapa?"

Bang Chan kelihatan sedang menimang sesuatu, "Ikut seminar di Kampus, mau gak?"

"Kampus mana, Bang?"

"Daerah Jaktim situlah."

Seminar untuk besok hari Rabu, Kamisnya Mitha ambil cuti. Kepepet banget ini rasanya, keuntungan menerima ikut seminar lumayan sih buat nambah pengetahuan sekaligus refreshing deket juga masih daerah Jakarta.

"Jadi panitia atau peserta, Bang?"

Bang Chan tertawa ringan, "Anak Diklat mana pernah jadi peserta, Mit? Jelas jadi panitia lah."

Setelah bernegosiasi dengan Bang Chan, soal kendaraan dan partner panitia, Mitha menyetujui tawaran itu.

"Lo seriusan mau ngikut seminar besok?" Sera mendekat, setengah berbisik akan keputusannya.

"Dari pagi sampe malem pasti, nggak takut capek lo?"

Memundurkan kursi kerjanya dengan sekali hentak, Mitha beralih menghadap Sera, "Nggak lah. Kamis sama Jum'at nya kan gue kosong, paling cuman fitting baju doang. Nggak bakal capek."

"Tapikan, pulangnya malem. Terus lo bakal langsung ke Bogor gitu, remuk dah badan lo nanti."

Mengingat kegiatan yang belakang ini dijalani Mitha sangat lumayan padat, karena harus bolak-balik Jakarta-Bogor ker rumah kedua orangtuanya, Mitha terpikirkan kembali ucapan Mama yang ingin pindah tempat tinggal secepatnya ke kampung yang ada di Solo.

Kedua orangtua Mitha yang sudah tidak melakukan pekerjaan dan berkata bosan di rumah Bogor, menjadi awal mereka berpendapat kalau hidup di Solo tidak begitu membosankan. Rumah di sana lebih dari cukup untuk di tempati, terlebih memiliki kebun di belakang rumah yang lumayan luas, cocok di sandingkan dengan Ayah yang hobi berkebun.

"Balik seminar langsung ke Bogor, kamu?" Mas Alan yang baru menyerahkan sebuah map kepada Sera, ikut menimbrung.

"Iya Mas. Kan Kamisnya udah cuti." Sera menghela napas, sahabat karibnya ini sangat ngeyel kalo dibilangin.

Kedua telinga Bang Chan yang menyimak obrolan ini, agak merasa bersalah. "Lo yakin nih, Mit? Dari Diklat cuman lo doang yang ngewakilin, sisanya dari unit lain."

"Panitianya?"

"Ada dari Medik, MHCU, Radiologi sama SDM. Tar ketemu sama Mbak Nana juga sih."

Masih seputar unit yang Mitha kenal kok, mungkin beberapa diantaranya juga masih kenal. "Gak papa, Bang. Naik transportasi RS kan? Bus."

"Nggak lah, kalo naik Bus RS, makin kemaleman nanti kalo kudu balik kesini lagi. Jadi lo nebeng bareng Mbak Nana aja, mau?"

Mau aja sih selagi masih ada barengannya, tapi yang jadi masalah, kalo berangkat bareng Mbak Nana, Mitha ke Bogor naik apa? Masa kereta? Jauh nggak ya daerahnya sama stasiun.

Tangan Mitha bergerak mencari lokasi seminar besok, ternyata jarak dari Kampus ke stasiun terdekat nggak lebih dari 1 Km. "Mau, Bang. Lumayan nggak kerja sehari, hehehe."

"Mitha! Lo nih malah kepikiran itu. Gue ikut dah nemenin elo, naik motor aja sama gue, tar ke Bogor kita gantian bonceng."

Jitakan dari Sera sakitnya bukan main, Sera ini kecil-kecil juga punya tenaga super. "Sakit anjir, Ser. Ngapain lo ikut, kaya kurang kerjaan lo. Noh perbarui data pegawai, baru nyampe Medik doang kan lo."

Sera tak bisa berkutik kalo udah disindir soal pekerjaannya, dia memang agak ngaret soal perbarui data pegawai. "Orangnya aja yang nggak mau konfirmasi ke sini."

Pulang dari tempat kerjanya, Mitha sampai kosan saat tiba waktu Isya. Mengambil totebag besar yang akan ia gunakan guna menaruh beberapa berkas penting dan koper kecil untuk baju-bajunya, ia mulai menata apa saja yang akan dibawa.

Sebelumnya Mitha sudah memberi kabar ke Mbak Nana kalau ia izin membawa koper kecil, supaya nggak bolak-balik lagi ke kosan.

"Dirumah masih ada baju nggak ya."

Banyak pertimbangan dimana Mitha harus memilah dan memilih barang yang sangat sangat penting diantaranya. Kalau menjelang hari pernikahan, pasti bakal banyak kerabat yang dateng ya, mungkin beberapa set setelan formal harus ia bawa.

"Blouse, tunik, kaos, jeans, celana bahan... Apa lagi, ya."

Mengabsen beberapa pakaiannya, Mitha bingung sendiri kalau bawa koper kecil, nggak bakal muat menampung ini semua. Travel Size yang biasa Mitha bawa paling banter ya cuman bisa nampung 2 set setelan, itupun buat dinas luar.

"Masa bawa koper gede. Bilang ke Mbak Nana aja koper kecil."

Tak bisa ia bayangkan begini saja Mitha bisa ribet sendiri, ia butuh saran. Mau nelpon Mama, ponselnya lagi diisi daya untuk besok. "Bawa 2 set aja lah, di rumah juga pasti masih ada baju." Gumamnya menelisik pakaian yang terjejer.

Akhirnya pilihan Mitha jatuh pada 2 Blouse berlengan panjang dan celana bahan yang biasa ia pakai kerja. Untuk kaos dan segala macamnya, bisa minjam ke Saras.

Wedding Impossible [end]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang