Sudah menjelang hari ke-3 pasangan suami dan istri baru itu tinggal di rumah Mitha, yang ada di Solo dimana acara pernikahan mereka. Membuat Raden agak sungkan karena mereka adalah keluarga baru yang sudah layaknya untuk tingal di rumah mereka sendiri.
Raden semalam sudah berbicara kepada Mitha soal pindah rumah, dengan alasan tidak enak menumpang di rumah kedua orangtua Mitha, meski tanpa keberatan. Awalnya Mitha menolak untuk pindah rumah, setelah dibujuk dan diberi saran oleh Raden, Mitha setuju. Karena, menurut Mitha apa yang dibilang Raden banyak benarnya juga. Mereka sudah berkeluarga, akan lebih baik kalau mereka tinggal dirumah mereka sendiri.
Sampai pagi harinya, Raden izin kepada Ayah dan Mama Mitha untuk memboyong putrinya tinggal di rumah yang sudah ia beli. Sama seperti Mitha, Mama awalnya juga tidak setuju, katanya untuk apa toh mereka tetap menjadi anaknya, tinggal disini selamanya pun tak masalah.
"Raden ngerti, Ma. Tapi menurut Raden, akan lebih baik lagi kalau Raden dan Mitha tinggal disana, hitung-hitung melatih kemandirian kami."
"Tapi, tinggal disini juga nggak masalah kok. Justru Mama senang rumah nggak sepi-sepi banget." Mama kekeuh pada pendiriannya, Mitha yang sudah lelah memberi pengertian hanya mendengarkan saja.
"Iya, Ma. Raden tau. Tapi Raden juga punya kewajiban untuk bertanggung jawan terhadap masa depannya Mitha, mau bagaimana pun sekarang Mitha sudah menjadi istri Raden. Jadi, Raden punya tanggung jawab besar terhadapnya."
Mendengar kata istri yang dilontarkan dari bibir Raden, entah kenapa membuat darah Mitha berdesir hangat. Maklum baru diakuin istri. Dulu-dulu 'kan baru sahabat, eh!
"Ayah setuju sama saran Raden. Nggak ada salahnya juga kita membiarkan mereka hidup mandiri, asal tanggung jawab masing-masing dari kalian harus dipegang." Ujar Ayah meyakinkan.
"Yah?! Kok setuju sih. Nanti mama kesepian lagi, gimana? Ndak cukup, ditinggal Mitha ngerantau sama Saras yang bolak-balik kuliah?"
Ayah mengelus lengan Mama, memberi ketenangan, "Mitha perempuan yang sudah berkeluarga, Ma. Kewajibannya sekarang adalah menuruti seluruh perkatan yang baik dari suaminya.
"Tapi, Yah..."
"Kita percayakan saja pada mereka berdua, ya. Ayah yakin ini yang terbaik buat mereka."
Saras yang cuman dengerin tanpa ikut campur, menyetujui juga apa yang dikatan Ayah. Akhirnya Mama pun setuju atas kepindahan putri sulungnya bersama sang suami, nanti sore.
"Rumahnya di Jakarta?"
"Iya, Yah. Lumayan dekat sama tempat kerja Mitha, beda 2 blok juga sama kosan Mitha yang sekarang."
"Yasudah hati-hati, Ayah titip Mitha ya."
Raden mengangguk, membantu Mitha yang mulai mengemas beberapa barang penting untuk dibawa ke rumah baru mereka. Nopal yang baru datang pun ikut membantu, beberapa barang yang diberikan Mama pada mereka.
Mereka semua saling membantu, memilah dan memilih barang mana yang menjadi prioritas untuk mengisi sebuah rumah baru.
"Isi dapurnya udah cukup lengkap, sih. Paling barang-barang yang udah nggak layak pakai aja nanti kita beli baru."
Raden memang membeli sebuah rumah minimalis berlantai 1 lengkap dengan furniture di dalamnya sebelum menikah beberapa tahun yang lalu. Jaga-jaga takut dana darurat yang Raden kumpulkan mendadak terpakai dan tak bisa buat beli rumah.
"Kalian bawa alat mandinya ya. Mama masih punya yang baru, beberapa barang darurat juga dibawa ya."
Entah sudah yang keberapa kali, mama memberikan banyak barang baru, entah dari hasil seserah pernikahan atau kado. Seperti sekarang, kekeuh sekali mama menyuruh agar membawa lampu dan pendingin darurat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Wedding Impossible [end]
Teen FictionSahabat katanya? Adakah pria dan wanita yang sahabatan selama bertahun-tahun tanpa melibatkan perasaan diantara mereka? Well, Paramitha Tribuana dapat dengan sombong mematahkan segala sesuatu yang mengatakan kalau bersahabat dengan lawan jenisnya...