20 : Mitha Side

32 2 0
                                    

Entah sudah yang keberapa kalinya Raden selalu pulang larut malam dan meninggalkan makan malam bersama dengannya di meja makan. Bahkan di hari weekend seperti ini pun, Raden berkali-kali mendapat panggilan telepon. Dari clien sih katanya.

"Kerumah? Ngapain."

Clien sampe nyamperin ke rumah gitu? Setdah ini clien bukan sembarang clien, effort amat. Biarin lah, toh Raden ini yang kedatangan clien ngapian juga dirinya jadi ikutan repot.

"Yaudah suruh kesini aja, gue juga lagi nggak sibuk sih."

Mitha mengikuti kemana Raden menduduki sofa, dengan salah satu tangan yang memegang toples camilannya, ia melirik-lirik betapa berisiknya lembaran kertas ukuran A4 itu di bolak-balik oleh Raden.

"Lah, masa cuman gue sih? Lo juga ikut kesini lah. Ogah banget gue ngeladenin clien bawel yang banyak maunya." Sambil berdecak, Raden memalingkan wajahnya menatap Mitha.

Apaan tuh ikutan lirik-lirik ke arahnya, dirasa Mitha akan merasa tersindir gitu gara-gara di omong bawel? Helow!

"Udah sabar banget ini gue, saking sabarnya sampe ngelewatin batas, pengen gue tendang lo ampe ke Afrika!" Katanya lagi, kini sambil mengacak rambut dan membuang napas gusar.

"Kagak bisa gini dong, Pal! Kan elo yang kemaren-kemaren nge-iyain, giliran kayak gini aja malah di oper ke gue. Gue bukannya gak mau ngeladenin, tapi kalo cliennya modelan macem gini, udah terlanjur males gue!"

"Apa kata lo?! Enak aja! Awas aja ya kalo lo sampe nggak dateng kesini, gue potong gaj--- Halo! Nopal! Sialan!"

Ponsel hitam yang tadi tertempel manis di telinga Raden, kini sudah tergeletak tak berdaya di atas meja kaca. Letaknya hampir ke pinggiran sisi, senggol dikit aja bisa langsung jatoh dan pecah. Mitha nggak tau apa yang di obrolkan Raden dan Nopal, tapi kedengarannya mereka baru aja dapet clien bawel yang suka berbuat seenaknya.

Melihat benda bulat yang tergantung diatas TV, Mitha bergegas menutup toples camilannya dan melangkah menjauhi Raden untuk kembali ke kamarnya, namun sebelum itu terjadi, ia sudah dihentikan dan malah disuruh kembali duduk.

"Tar dulu, temenin gue nemuin clien bentar."

"Dih! Ogah banget. Nggak liat jam noh, udah setengah 9. Mana ada bahas kerjaan jam segini, malem minggu pula." Cicitnya pelan diakhir kata.

Raden semakin kelihatan malas menanggapi, namun tangannya pun tak urung menarik ujung kaos Mitha. "Bentaran, Mit. Biar gue juga punya alesan cepet-cepetin diskusi nanti. Ayolah."

"Nggak mau ih. Gue ngantuk, mau tidur. Besok mau kerumah Ibu." Mitha sudah merengek dengan menarik cekalan tangan Raden yang kini berpindah ke lengannya.

"Tidur disini aja tar gue pindahin. Besok juga bakalan gue anterin ke rumah Ibu, ya? Satu jam. Sampe jam 10 aja, ya?" Ujar Raden.

"Ih! Nggak mau Raden."

"Ayolah Mitha, bentar aja. Biar gue punya alesan nyudahinnya."

Kedua tangan Raden sudah bertangkup, mengeluarkan ekpresi wajah melas yang tak kunjung sudah. "Ya?"

"Ck! Lagian ribet amat sih. Makanya batesin tuh jam kerja lo, jangan dibikin fleksibel banget. Kalo perlu kasih tau juga tuh ke clien lo, jam konsultasi tuh di hari Weekday sampe sore aja! Giliran gini, gue juga yang ikut repot."

Mitha mendengus, menendang kaki Raden supaya menyingkir dan ia kembali melabuhkan tubuhnya diatas sofa dengan toples dalam dekapannya.

Sedangkan Raden tersenyum senang meski tulang kakinya agak cenat-cenut ditendang Mitha. Gak apa lah, yang penting konsultasi malam ini nggak nyampe satu jam lewat, semoga aja.

Wedding Impossible [end]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang