Pantat Mitha kebas, matanya merah menahan kantuk dengan keadaan perut yang kacau karena sedari tadi keluar dari pintu tol Solo, Mitha tak ada hentinya mual dengan berujung memuntahkan seluruh makanan yang ada di dalam perutnya.
Sampai rumahnya pun, rasa mual yang dialami Mitha tak kunjung reda. Sudah di kerik oleh Mama dan di pijat Ibu, tetap saja mualnya tak kunjung reda. Dicoba mengisi perut agar tak kosong pun, tetap saja makanan itu tak bertahan lebih dari satu jam sebelum di muntahkan.
Seperti saat ini, Mitha kesulitan menopang tubuhnya saat memuntahkan makanan yang baru saja ia makan. Matanya bahkan sampai berair, seluruh energi dalam tubuh Mitha serasa di sedot habis karena efek habis muntah.
Mama dan Ibu pun khawatir bukan main dengan kondisi Mitha, asumsi-asumsi para keluarga satu per satu mulai bermunculan.
"Mitha telat haid nggak? Siapa tau lagi isi." Kata Kakak pertama Mama, Budhe Atmi.
"Eh, iya ya. Biasanya kan orang kalo lagi isi, gejalanya muntah-muntah kaya Mitha. Coba cek pake testpack deh, siapa tau kebeneran 'kan." Timpal Kakak kedua Mama, Budhe Ati.
Pegangan Mama pada lengan Mitha sedikit demi sedikit berasa longgar, ia di dudukan di kursi dekat kulkas. "Kamu lagi haid apa enggak, Mbak?"
Haid? Mitha belum haid bulan ini. Tapi bagaimana mungkin dirinya bisa hamil kalau proses pembuatan saja belum terjadi padanya. Gelengan dari Mitha semakin membuat para keluarga tersenyum lebar, Ibu pun ikut tersenyum sambil mengelus surainya.
"Suami kamu kemana? Coba suruh beliin tespack. Kamu cek dulu aja, kalo positif baru ke dokter kandungan." Bude Ati mulai celingukan, mencari keberadaan Raden.
"Raden kayaknya lagi nebang pohon jambu di depan. Ibu panggilin ya." Baru saja Mitha akan menolak, tapi semangat Ibu yang langsung meninggalkan dirinya, membuat Mitha diliputi rasa gugup.
Mama tetap menemani Mitha, ia diberi wejangan, "Kalau kamu betulan hamil, Alhamdulillah. Anak itu rezeki, dia dihadirkan di dalam rahim kamu itu memang sudah takdirnya, sudah waktunya juga kamu mulai fokus dan mengurusi keluarga kecil kamu sekarang."
"Mama bakal bahagia banget kalau kamu juga bahagia." Tangan Mama menyentuh perut datar Mitha, "Semoga dengan kehadiran dia, kamu dan Raden bisa jadi orangtua yang bertanggung jawab."
"Ma," Tangan Mitha menghentikan elusan di perutnya, "Kalo Mitha nggak hamil, Mama bakal kecewa?"
"Kecewa? Mama nggak bakal kecewa kok, kalau kamu belum hamil, mungkin memang belum waktunya juga. Allah maha tau kapan kamu siap akan diberi momongan."
Mitha tersenyum, perlahan ia menghembuskan napas lega. Sampai Raden dan Ibu datang, Mitha kembali dibuat gugup, bagaimana cara memberi tahu Raden soal kejadian tadi.
"Beli testpack buat apa, Mit?"
Ibu yang berdiri di samping Raden, melayangkan kepalan tangannya, "Kamu ini, gak tau fungsi testpack itu apa? Alat pengecek kehamilan. Begitu saja kok ndak tau, Le."
Budhe Atmi dan Bude Ati tertawa, "Namanya juga cah lanang, Bu. Ndak ngerti testpack ya, wajar saja toh." Gurau Budhe Ati.
"Dibelikan saja testpacknya, Le. Biar Mitha coba besok pagi, supaya langsung akurat." Kata Budhe Atmi.
Mitha sudah tak bisa menahan ucapan para keluarganya yang terus mengasumsi kalau dirinya tengah hamil. Raden pun kelihatan bingung, ia menatap penuh selidik pada Mitha, mencari kebenaran soal pembicaraan ini.
"Sudah, lebih baik kamu ajak Mitha istirahat di kamar saja. Kasian habis perjalanan jauh terus muntah-muntah dari subuh."
Raden mengikuti perintah Ibu, dibawanya Mitha menuju kamar, karena ia juga akan meminta penjelasan soal testpack dan kehamilan yang dibicarakan tadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Wedding Impossible [end]
Teen FictionSahabat katanya? Adakah pria dan wanita yang sahabatan selama bertahun-tahun tanpa melibatkan perasaan diantara mereka? Well, Paramitha Tribuana dapat dengan sombong mematahkan segala sesuatu yang mengatakan kalau bersahabat dengan lawan jenisnya...