Tidak ada sesuatu yang terjadi diantara Mitha dan Raden semalam, nggak seperti kebanyakan pengantin pada umumnya, dimana si wanita sulit membuka sleting baju yang dikenakan dan meminta bantuan pada si pria, kemudian mereka melakukan hal yang sudah seharusnya karena terlanjur diliputi nafsu.
Dengan serangkaian perdebatan kecil, saling bernegosiasi siapa yang lebih layak tidur di kasur dan sofa. Mitha memenangkan perdebatan dengan alasan kakinya masih sakit, dan membiarkan Raden tidur di sofa mini samping ranjangnya.
Tubuh Raden kaku saat baru bangun tidur karena tidak bisa bergerak bebas, Mitha melempar bantal kecil ke arah Raden yang masih tidur nyenyak.
Satu kali, dua kali, Raden sama sekali tak terganggu oleh lemparan bantal Mitha. Sampai akhirnya ia pasrah melempar remot AC dan mengenai perut Raden.
"Sorry, pilihan terakhir gue ini."
"Shhh, "Raden berhasil bangun meski merasakan sakit pada perutnya. "Kenapa sih! Pagi-pagi udah di lempat remot AC. Kualat lo."
"Bantuin jalan."
Masih duduk sambil mengumpulkan kesadarannya, Raden menghela napas. "Kemana?"
"Kamar mandi."
Raden menghampiri Mitha yang sudah duduk di pinggir ranjang, memapah kembali keluar kamar menuju kamar mandi dengan langkah pelan. Ia rasa kondisi kaki Mitha sudah lumayan baik.
Keluar dari kamar dan melihat beberapa kerabat Mitha dan Nopal yang sedang menikmati secangkir teh panas, membuat rasa iri Raden menguar.
"Eh, menantu udah bangun. Mitha kemana?"
Raden menggeser duduknya, membuat ruang untuk Mama. "Lagi di kamar mandi, ma."
Memang, setelah mengantar Mitha masuk kamar mandi, Raden ikut bergabung duduk bersama di ruang keluarga. Yakali Mitha harus ditunggui, malu lah Raden berdiri planga-plongo di depan kamar mandi.
"Kamu mau langsung sarapan? Atau minum teh dulu?"
Kalau boleh memilih sih maunya langsung sarapan aja, sudah tadi kena lempar remot AC. Perut Raden dari semalam pun belum terisi oleh nasi, hanya beberapa camilan yang masuk. Tapi ia malu kalau harus minta kepada mama mertuanya, mungkin menunggu Mitha lebih baik.
"Minum teh aja, Ma. Aku nunggu Mitha."
"Oh yaudah, Mama bikinin ya." Senyum Mama menghilang bersamaan dengan langkahnya ke dapur.
Raden duduk menyandar tembok, kepalanya ia angkat ke atas sambil menutup kedua mata. Ia masih sangat ngantuk dan lelah.
Tak sampai beberapa menit, senggolan dari lengan Nopal menyadarkan dirinya, "Kenapa sih."
Nopal mengedikkan dagunya, "Apa? Mitha belum keluar."
Merapatkan duduk di samping Raden, Nopal berbisik, "Rahang bos kenapa? Kok merah-merah gitu. Kayak abis dicakar."
"Ya emang abis dicakar." Jawabnya enteng, semalam Mitha sangat brutal gara-gara Raden mengurut kakinya.
"Lembur ya bos semalem, sampe berbekas gitu."
"Iya." Jelas lembur lah! Dari masuk kamar sampai tengah malam, ia harus rela menahan kantuk demi memijat kaki Mitha sampai tertidur. Kalu enggak bisa merengek terus semalaman.
"Widih... Semoga langsung jadi ya, bos."
Apanya yang jadi?! Koreng di rahang Raden maksudnya gitu? Nopal ini pagi-pagi udah ngelantur aja. Untung cuman dia yang nemenin Raden di rumah Mitha, kalo nggak, mending dia usir kembali ke kantor.
"Bos, Mbak Mitha tuh."
Raden menghampiri Mitha, memegang lengannya, "Udahan?"
Mitha mengangguk, "Gue laper. Mau makan gak?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Wedding Impossible [end]
Teen FictionSahabat katanya? Adakah pria dan wanita yang sahabatan selama bertahun-tahun tanpa melibatkan perasaan diantara mereka? Well, Paramitha Tribuana dapat dengan sombong mematahkan segala sesuatu yang mengatakan kalau bersahabat dengan lawan jenisnya...