Berdiri diatas pelaminan dengan kaki yang masih dibalut plester dan memakai sandal jepit, kaki Mitha semakin berdenyut tatkala tanpa sengaja ia menginjak rok yang dikenakan.
Sedikit meringis, Mitha duduk kembali di kursi yang tersedia setelah menyalimi beberapa rekan kerja Raden malam ini. Semua rekan kerja Mitha sengaja ia suruh datang siang hari, dengan iming-imingan dapat souvenir spesial. Tinggal rekan kerja Raden yang belum semuanya datang.
Kini menjelang malam, dengan balutan baju adat terakhir, Mitha suda tak kuat menahan sakit di kedua kakinya.
"Kenapa, Mit? Sakit lagi kakinya? Petakilan mulu sih jadi cewek."
Raden menaruh ponselnya yang sempat ia pegang beberapa saat, mendengar Mitha yang terus meringis tak nyaman. Ia menarik sedikit rok yang dikenakan Mitha, memperlihatkan pergelangan kakinya.
"Keliatan makin bengkak, nggak sih?"
"Iya, makin sakit juga nih." Mitha kembali meringis, mencengkram erat apapun yang bisa ia cengkram. Sungguh sakit sekali kakinya seperti baru pertama kali kesleo.
"Emang nggak lo urut belakang ini? Kayaknya waktu itu sekali dua kali gue urut, langsung mendingan deh."
"Mana bisa ngurut sendiri! Dibuat nekuk dikit aja sekarang sakit! Berasa kayak abis patah tulang tau gak!" Adunya.
Raden nyengir, tangannya menyentuh kembali plester di kaki Mitha. "Tar ganti plesternya sekalian gue urutin deh."
"Ck, kelamaan! Sekarang aja. Sakit banget ini."
Rengekan Mitha membuat Raden kelimpungan, gimana caranya mereka meninggalkan pelaminan? Kalau masih ada tamu yang datang, bagaimana?
"Tamu lo udah abis kan?" Raden mengangguk. "Yaudah izin sama Ayah anterin gue kedalem. Pegel nih kaki gue, mana sakit lagi."
"Bentar gue cariin dulu."
Berdiri meninggalkan area pelaminan, Raden mencari keberadaan Ayah mertuanya. Saat mendapati beliau sedang asik ngobrol bersama teman sebayanya, Raden mencoba mendekat.
"Yah, Mitha udah boleh masuk belum? Kakinya sakit katanya." Dengan setengah berbisik, Ayah dapat mendengar jelas ucapan menantunya.
"Boleh, kalian istirahat aja di dalam. Biar sisa tamu, Ayah yang urus." Ayah menepuk bahu Raden.
"Makasih, Yah."
Kembali ke atas pelaminan dan masih mendapati Mitha dengan ringisannya, Raden mengambil segelas air yang sudah ia tusukan sedotan. "Minum dulu. Kata Ayah kita boleh istirahat di dalem."
Mitha mengambil alih air gelas yang diberikan Raden, "Sisa tamunya gimana?"
"Ayah yang urus. Abisin." Menurut untuk menghabisi air di dalam gelas, Mitha memberikan kembali gelas kosong yang isinya sudah habis pada Raden.
"Terus gue gimana jalannya? Saras sama Mama pasti masih diajak ngobrol."
"Pake kursi roda, mau?" Tawaran Raden membuat Mitha dengan gemas memukul lengannya, dikira Mitha ini lumpuh kali ya segala make kursi roda.
"Lo aja sono pake kursi roda!"
Raden tak berhenti sampai situ, jarinya mencolek pipi yang masih dibalut blush on Mitha. "Marah-marah."
"Ayo, gue tuntun. Sampe depan kamar kalo perlu dah."
Dengan tatapan tajam dan wajah jutek khas Mitha yang tengah marah, Raden mengambil alih sebelah tangan Mitha untuk di lingkarkan pada bahunya.
Saat sudah akan berdiri, tangan Raden yang satu juga menelusup ke pinggang Mitha, "Pelan-pelan turunnya."
Mitha berdecak, "Kenapa harus ada tangga kayak gini sih! Nyusahin aja."
KAMU SEDANG MEMBACA
Wedding Impossible [end]
Teen FictionSahabat katanya? Adakah pria dan wanita yang sahabatan selama bertahun-tahun tanpa melibatkan perasaan diantara mereka? Well, Paramitha Tribuana dapat dengan sombong mematahkan segala sesuatu yang mengatakan kalau bersahabat dengan lawan jenisnya...