Alunan musik gamelan dengan diiringi suara merdu seorang sinden Jawa, menjadi backsound sambutan pagi ini tatkala mempelai laki-laki beserta keluarga besarnya mulai memasuki area.
Mitha tak bisa melihat bagimana ekspresi yang ditampilkan oleh Raden. Apa muka tengilnya terpampang seperti biasanya, atau malah muka pucat seperti saat lamaran itu yang ia tampilkan. Ingin rasanya Mitha keluar sebentar guna melihat muka Raden yang sering disebut ganteng itu, entah sama anak mahasiswi atau ibu-ibu tetangganya.
Dari dalam kamar bersama Saras, Mitha masih dirias seorang MUA, rambutnya juga ikut disasak membentuk sebuah gelungan sederhana. Saras yang senantiasa menemani Kakak perempuannya sedari subuh sampai sekarang, ikut dirias saat jarum jam sudah menunjukkan pukul 8.
"Mbak, sasaknya jangan banyak-banyak, takut kusut rambut saya."
"Nggak bisa, Mbak. Karena rambut Mbak tebel lumayan panjang, mau nggak mau harus kena sasak semua."
Mitha melihag si penata rambut dari cermin yang sama, "Yah... Jadi kusut ya, Mbak rambut saya nanti?"
"Namanya pengantin, Mbak. Rambut udah pasti kusut kalo di sasak, nanti saya kasih shampo khusus deh supaya pas keramas nggak makin kusut."
"Sudah selesai, Mbak. Mau pakai kembennya sekarang?" Matanya melirik, dimana tempat beberapa baju yang tergantung.
"Harus banget pake kemben, Mbak?" Tanya nya, sudah merasa sesak duluan melihat kemben yang akan di pakai.
"Iya. Kan udah satu set sama bajunya, sayang Mbak kalo nggak dipake. Beli mahal-mahal, dipakenya juga sebentar ini." Kalau gini mending nggak usah beli kebaya, kenapa nggak nyewa aja sih. Sehari pake langsung balikin.
"Tapi adek saya pakein juga ya, Mbak. Biar kalo saya sesek ada temennya juga."
Saras yang masih di Make-up menengok saat Mbaknya menyebut namanya. "Kalo gitu, rambut Mbak juga harus mau disasak kayak Saras. Biar kalo kusut ada temennya." Senyum Saras terbit setelah mengatakan itu.
Mitha melihat bagaimana kusutnya rambut Saras begitu, bergidik ngeri. Rambut Saras memang panjang, tapi nggak setebal Mitha, kalau sasaknya aja bisa sampe kusut begitu, gimana nasib rambutnya.
Tanpa sadar, Mitha memegang gelungan rambut yang sudah jadi. Rasa-rasanya bakalan lebih kusut dari rambut Saras.
*****
Sementara di luar kamar Mitha, Raden beserta keluarga besar yang baru sampai, disambut ramah oleh kedua orangtua Mitha beserta kerabatanya. Mereka berbincang sedikit mengenai perjalanan sebelum melakukan satu adat lagi, penyambutan mempelai laki-laki.
Selesai dengan penyambutan, Raden dibawa terpisah dari kerabatnya bersama Ibu dan Bapak. Duduk di kursi akad berhadapan langsung dengan penghulu dan calon mertuanya, membuat kedua tangan Raden basah.
"Kamu mau minum? Jangan terlalu gugup." Kata Bapak setengah berbisik.
Gimana nggak gugup?! Kapan sih akadnya di mulai. Nama panjang Mitha sama Ayah nya sudah ia hafal diperjalanan tadi, takut lupa kalo acaranya lama dimulai.
"Akadnya kapan dimulai, Pak? Raden gugup."
Sepertinya Bapak nggak denger, malah penghulu di depannya yang mendengar, "Mas nya udah nggak sabara ya? Tunggu sebentar lagi ya, belum jam 08.55."
Harus banget nih nunggu jam segitu? Raden bukannya nggak sabar atau apa, tapi ia takut lupa nyebutin nama panjang Ayah nya Mitha. Easy kalo nama Mitha doang, sudah hafal banget dari jaman SD.
"Sabar, nak. Bentar lagi ya. Kamu siap-siap aja dulu." Papa Mitha mengelus pelan bahu Raden, aura ketegasannya mampu menambah kegugupan.
Siap-siap apalagi coba?! Udah siap banget ini. Raden cuman takut lupa sebut nama panjang Ayah nya Mitha! Hanya itu.
"Ma, Mitha udah siap belum?"
"Udah, Yah. Tinggal pake sepatu doang."
Menangkap pembicaraan Ayah dan Mamanya Mitha, Raden sedikit was-was soal kondisi kaki Mitha yang sakit kembali. Kalau dia disuruh pakai sepatu macam yang Raden pakai, pasti ngeri banget liatnya. Rasanya begitu sempit dan kecil di kakinya.
Raden disuruh menyedot air dalam kemasan gelas guna meredam kegugupannya, "Minum dulu, bentar lagi bakal dimulai akadnya." Kata Ibu.
Bentar lagi, bentar lagi terus yang Raden dengar kalau akadnya bakal mulai, sampai sekarang pun masih belum dimulai.
"Nak Raden sudah siap untuk akadnya?"
HAH?! BENERAN SEKARANG KAN?! Raden mengangguk mantap, tangannya terangkat guna menggenggam tangan calon mertuanya.
"Nama Papa Adiputra Sanjaya kan?" Papa Mitha mengangguk, sambil senyumnya merekah sedikit atas bisikan dari Raden.
"Jangan sampe salah sebut, ya."
Raden mengangguk mantap lagi, tangannya semakin erat dipegang Papa Mitha. Tangan dinginnya pun bersentuhan langsung dengan tangan hangat Papa Mitha, menghantarka rasa gugup yang semakin mendalam.
"Bismillahirahmanirahim..."
"Bismillahirahmanirahim... "
"Saya nikahkan engkau, ananda Raden Megantara bin Bagaskara dengan putri saya ananda Paramitha Tribuana binti Aditputra dengan maskawin berupa uang tunai senilai tiga belas juta dan seperangkat alat Sholat dibayar tunai!"
Raden menarik napas dalam, "Saya terima nikah dan kawinnya Paramitha Tribuana Binti Adiputra Sanjaya dengan maskawin tersebut dibayar tunai!" Kemudian meghelanya dengan pelan.
"Bagaimana para saksi? Sah?"
"Sah!"
"Alhamdulillah."
Berakhirnya dengan doa setelah akad, Mitha dibawa keluar dengan iringan lagu khas Jawa. Disamping kanannya ada Mama dan Saras, samping kirinya asa Sera dan salah satu saudaranya.
Berjalan pelan dengan anggun tanpa melihat kebawa, Raden mengembangkan senyum melihat cara jalan Mitha yang masih agak pincang. Beralih pada kebaya bermodel simple dan sanggulan rambutnya, Mitha ternyata memang seorang perempuan. Bisa menjadi cantik dan gemulai dan dapat menjadi satu dalam dirinya.
"Cantik, ya. Mas?"
Ibunya tersenyum lebar, menyambut kedatangan sang menantu yang semakin dekat. Raden dan seluruhnya berdiri ketika Mitha semakin dekat ke arahnya. Dapat ia lihat dengan jelas, blush on tipis yang menghiasi kedua pipi Mitha.
"Silahkan, dicium tangan suaminya." Mitha kelihatan lebih gugup daripada Raden, ia mengambil tangan kanan Raden dan mencium lama, karena akan difoto.
"Nah, sekarang gantian cium kening istrinya." Giliran Raden yang gugup, ia belum pernah sejauh ini dengan seorang perempuan.
Dengan sangat cepat, Raden mendaratkan kecupan pada dahi Mitha. Sang fotografer pun memotret dari banyak sisi.
"Alhamdulillah kalian sudah sah menjadi pasangan suami dan istri, semoga menjadi keluarga yang sakinah, mawaddah, dan warohman. Doa baik selalu untuk kalian berdua." Si penghulu memberi sedikit wejangan sebelum menandatangani buku nikah.
Semoga segala doa baik yang diberikan kepada dirinya dan juga Mitha, dapat berbalik baik kembali.
KAMU SEDANG MEMBACA
Wedding Impossible [end]
Teen FictionSahabat katanya? Adakah pria dan wanita yang sahabatan selama bertahun-tahun tanpa melibatkan perasaan diantara mereka? Well, Paramitha Tribuana dapat dengan sombong mematahkan segala sesuatu yang mengatakan kalau bersahabat dengan lawan jenisnya...