2. Cowok itu Adalah Indigo

356 14 0
                                    


NAMA aku Aqilla Iluvia. Aku harap kita semua bisa temenan.” Aqilla sedikit membungkukkan badan. Tersenyum ramah pada satu kelas yang menatapnya penasaran.

Aqilla mengedarkan pandangan ke seluruh sudut ruangan. Dahinya lantas mengernyit. Netranya menangkap sesosok cowok duduk paling belakang sendirian. Davin membalas tatapannya malas. Lalu membuang muka cuek. Aqilla nyaris menganga tidak percaya mendapati cowok itu di kelas barunya.

“Ada pertanyaan untuk Aqilla?” Ucapan guru wanita itu membuyarkan lamunan Aqilla. Dia maju selangkah menyejajari posisi berdiri Aqilla.

Satu cowok duduk paling depan mengangkat tangannya tinggi-tinggi. Aqilla mengalihkan seluruh atensi padanya. “Lo keturunan Geotrama, kan? Yang semua keluarganya meninggal sebelas tahun lalu.”

Aqilla bungkam. Atmosfer kelas terasa berat tiba-tiba.

“Ye, si Bego masih nanya lagi!” Cowok yang duduk di sampingnya menoyor keras kepala temannya. “Semua orang juga tahu kalo dia orangnya.”

Aqilla hanya diam. Terlalu bingung mau bereaksi seperti apa. Apa ia mesti mengakui saja? Atau mengatakan bahwa ia tidak ada hubungannya dengan kejadian sebelas tahun silam? Ah, rasanya percuma. Mereka kan tidak tahu apa-apa tentang apa yang sebenarnya terjadi pada keluarga Geotrama.

Keluarga yang hancur sejak Aqilla berumur enam tahun. Semua ini gara-gara kakeknya yang melakukan kontrak dengan iblis. Dia memberikan kekayaan berlimpah pada sang kakek. Sebagai gantinya, mama papanya dijadikan tumbal.

Anita dan Reza dimangsa di depan mata Aqilla. Kakeknya meninggal beberapa hari kemudian. Sampai sekarang, hanya Aqilla yang masih memakai gelar Geotrama. Sendirian.

Aqilla masih tidak percaya kakeknya melakukan perbuatan semenjijikkan itu.

Jika saja kakeknya masih bernapas, Aqilla ingin membunuhnya ratusan kali. Sampai mama papanya kembali padanya. Aqilla kehilangan semuanya hanya karena ketamakan sang kakek. Dia sendirian, dijauhi, dicampakkan oleh kehidupan. Aqilla menjadi sehina ini karena sang kakek.

Sampai kapan pun Aqilla tidak akan pernah memaafkan sang kakek.

“Andra, jangan ngasih pertanyaan aneh-aneh.” Guru wanita itu memperingati tajam cowok yang memberi pertanyaan. Andra mengangguk sekali malas berdebat. “Aqilla, kamu bisa duduk dengan Ara.”

Cewek yang duduk di bangku nomor tiga dari depan dekat tembok mengangkat tangannya. Menyunggingkan senyum ramah pada Aqilla. Aqilla berjalan melewati beberapa pasang mata yang tidak berhenti mengikutinya. Menaruh tas di kursi, ia duduk di samping Ara.

“Arabela Stefani.” Cewek itu mengulurkan tangan pada Aqilla. Aqilla tersenyum semringah. Ia menjabat tangan Ara.

“Panggil aku Aqilla.”

“Panggil gue Ara aja.” Ara melepas jabat tangan mereka. Beralih mengambil buku tulis dan kotak pensil dari tas, membukanya. “Kok lo baru masuk? Padahal udah hampir jam sembilan.”

“Ah, itu– aku tadi sempet kesasar. Abis itu minta bantuin sama anak kelas ini.” Aqilla menjawab sambil ikut mengeluarkan buku dan alat tulis dari tas. Aqilla menolehkan kepalanya ke arah Davin. “Dia tadi yang nolong aku.”

Ara mengikuti arah pandangan Aqilla. Matanya melotot lebar. Kaget setengah mati ketika tahu kalau cowok yang dimaksud Aqilla itu Davin. Ara menatap Aqilla tak percaya. Kembali ke Davin. Lalu Aqilla.

“Sumpah lo?” Ara mendesis keras. Melirik ke arah guru yang duduk membolak-balik buku, takut kalau didengar. “Dia nolongin lo?”

Aqilla mengangguk.

Unseen [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang