SINAR mentari mulai tersenyum lewat celah-celah dedaunan. Kicauan burung terdengar, embun-embun pagi meninggalkan tetesan-tetesan air dingin di pepohonan. Dua fana masih terjebak di tempat semula. Davin melenguh ketika sebulir air menetes ke wajah. Dia mengerjap-ngerjapkan mata beberapa kali. Kembali mengumpulkan nyawa.
Baru saja mau bangun, pundaknya terasa ada beban. Dia memutar kepala ke sisi kiri, Aqilla masih tertidur dengan kepala miring. Mengamati wajah itu selama beberapa saat, Davin sedikit memiringkan kepalanya. Wajah Aqilla terlihat damai, sama sekali tidak menampakkan sifat aslinya yang berisik dan pengganggu.
Davin penasaran dengan yang Aqilla alami semalam. Tentang bagaimana cewek itu bisa masuk ke hutan begitu dalam. Lalu terluka dengan pakaian kotor di mana-mana. Davin ingin bertanya, tapi takut jika itu malah menbuat Aqilla trauma.
Perlahan tangan Davin terulur, menyingkirkan helaian rambut yang jatuh menutupi wajahnya. Beralih menepuk-nepuki pipi itu berulang kali berniat membangunkan.
“Bangun. Jangan ngebo di sini.”
Kepala Aqilla bergerak. Tapi, matanya tidak juga terbuka. Dia malah mengusek-ngusekkan wajahnya ke lengan cowok indigo itu, kembali tidur.
Davin menahan napas sejenak. Jarinya kemudian menyentil dahi cewek yang tidak tahu diri di sampingnya ini. Aqilla mengaduh kaget, langsung menegakkan punggung sambil mengusap-usapkan keningnya. Sayang, lagi-lagi kelopak matanya sulit terbuka.
“Davin.” Dia melenguh. Davin berdiri, menepuk-nepuk celananya yang kotor. Dari atas, ia memandang Aqilla yang mendongak masih duduk di tempat. Cowok itu mengulurkan tangan. Tahu kaki cewek itu pasti masih sakit.
Aqilla mengulum bibirnya tipis. Menerima tangan kosong itu, menarik diri dengan tertatih-tatih. Aqilla meringis ketika nyeri di kakinya kembali terasa. Genggamannya mengerat di tangan cowok indigo itu.
Davin memperhatikan saksama. Maniknya bergulir ke bawah melihat balutan basah akan darah itu. Walau sudah mulai berhenti mengalir, tapi Davin tahu luka itu harus segera diobati. Apalagi terlihat dalam.
“Lo gak apa-apa?” tanya Davin. Aqilla sedikit mengangkat kepala demi bersitatap sebab tinggi mereka yang cuku terpaut jauh. Menggelengkan kepala lemah, tidak tahu harus menjawab apa. Sakit sebenarnya, tapi Aqilla tidak mau semakin menyusahkan Davin.
Menghela napas panjang, Davin kemudian memilih berjongkok dengan menekuk sebelah lututnya. Aqilla tercenung sendiri melihatnya. Sedikit memutar kepala ke belakang, memandang cewek yang terpaku itu, Davin berkata, “Naik.”
"Kamu gak capek?"
Davin berdecak. "Ya capeklah. Jangan lo kira lo enteng."
Mendengar ucapan ketus itu Aqilla cemberut kesal. Kalau berat, kenapa Davin mau menggendongnya?
Davin yang masih tidak bergerak di tempat, melanjutkan, “Buruan. Gue udah nyariin lo hampir gak waras. Gue mau cepet pulang istirahat.”
Tidak waras, ya? Aqilla tersenyum kecil. Mengalungkan tangan ke leher Davin dan memeluknya. Ia menumpukan dagu di satu pundak cowok itu, sedikit melirik wajah Davin dari samping.
Sepasang manik kelabu itu berbalas melirik lewat sudut mata. Sesaat, Davin dapat melihat bola mata cewek itu dengan jarak sedekat ini. Cokelat terang yang tengah bersinar bersama mentari yang perlahan-lahan menerik.
Aqilla memiringkan kepala. “Aku cantik, ya?” Dia berkedip sekali. Davin memalingkan wajah sambil mendengkus.
“Gak.”
Mulai berjalan kembali menyusuri hutan, melewati batang demi batang pohon. Sedang Davin mengamat ke kanan dan kiri, Aqilla malah cekikikan tidak jelas. Membuat buyar konsentrasi sang indigo, Davin menghentikan langkah sejenak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Unseen [END]
Horror"Gak peduli lo iblis atau apa pun. Sentuh Aqilla, gue bunuh." ~Davin Raygard. *** Aqilla Iluvia menjadi mangsa iblis selanjutnya setelah habis keluarganya dimakan hidup-hidup. Diteror, dikelilingi kegelapan yang tiada henti. Aqilla nyaris kehilanga...