“PERGI!”Tidak mendengarkan seruan itu, kaki Aqilla semakin melekat pada tanah. Tangannya bergetar, tubuhnya menegang di tempat. Di depannya Davin dicekik entah siapa. Kaki cowok itu sampai tidak menapak, dia berusaha turun namun tidak bisa.
Baru saja Aqilla ingin melangkah, Davin sudah terlempar ke belakang. Aqilla menutup mulut, menahan teriakan. Matanya berkaca-kaca, darah mengalir kencang nyaris membobol pembuluh darah.
Davin meringis, kepalanya bocor mengucurkan darah deras. Tapi,dia tetap mencoba berdiri walau terhuyung dan terus kembali jatuh. Aqilla berlari menerjangnya. Memeluk cowok itu. Menangis.
“Davin, udah. Jangan berurusan sama dia lagi.” Aqilla mengelap darah yang mengalir mewarnai wajah cowok itu dengan tangan kosong dan bergetar. Cowok itu berbalas menggenggam tangannya.
“Lo ... gak mau, kan, diganggu dia terus-terusan? Lo bilang lo pengen hidup normal.” Davin mengeratkan genggaman mereka. Aqilla tidak tahu harus berkata apa lagi. Dia hanya diam menatap lurus wajah Davin. “Gue udah mulai. Gak mungkin gue berhenti di tengah jalan.”
Memang benar. Aqilla ingin semuanya normal dan baik-baik saja. Tapi, kalau Davin harus seperti ini, Aqilla tidak akan sanggup. Kehilangan cowok itu hanya akan membuat Aqilla gila.
Gemetaran, kedua tangan Aqilla melepas tangan Davin. Beralih membantu cowok itu berdiri. “Jangan pikirin aku lagi. Kamu harus ke rumah sakit sekarang. Luka kamu parah.”
“Ini bahkan belum selesai, La.” Davin menyahut pelan. Berusaha menepis tangan Aqilla, mundur menjauh sebisa mungkin. Aqilla menatapnya waswas, berusaha meraih tangan cowok itu. Tapi, Davin menghindar. “Pergi. Urusan gue belum selesai.”
“Kamu gak pernah punya urusan sama dia.” Aqilla menekan kalimatnya. Maju beberapa langkah mengulurkan tangan ke arah Davin, dia hendak memapah cowok itu. Tapi, Davin lagi-lagi menyentak tangannya.
“Gue bilang urusan gue belum selesai, Bego!”
Aqilla menatap kesal. “Davin, ini urusan aku! Aku yanhlg tanggung jawab, jadi kamu gak perlu sok-sok'an mau nyelesaiin!”
Davin mendengkus, tertawa meremehkan. Tangannya mengusap darah yang nyaris mengenai mata. “Siapa cewek yang kemaren ngemis-ngemis minta tolong sama gue padahal gue sama sekali gak kenal? Ha?”Dia mengangkat sebelah alis.
“Davin–”
“SIAPA?!”
Aqilla mengatupkan bibir rapat-rapat, kedua tangannya meremas dress. Matanya menatap Davin dengan sorot terluka. Cowok itu menatapnya bengis, sesaat kemudian terkekeh kecil. Samar-samar, dapat Aqilla tangkap nada gemetar dari suara itu. Ada ketakutan tersirat yang berusaha ditutupi.
Davin berjalan terseok-seok, berdiri tepat di depan Aqilla yang pucat. Tangan kotornya mengusap peluh yang mengalir di pelipis cewek itu. Tatapan Davin melunak, napasnya perlahan teratur. Aqilla memegangi tangan Davin, ada air yang menetes dari balik kelopak matanya.
“Gue gak bisa ngelihat kayak gini terus, La.” Dia nyaris berbisik. Tapi, Aqilla mendengarnya jelas. Cowok itu menahan napas sejenak, melanjutkan, “Lo ... bakal baik-baik aja.”
“Enggak kalau kamu kenapa-napa.” Suara Aqilla terdengar serak. Dia menekan tangan Davin di pipinya. “Jangan ngorbanin diri kamu cuma buat aku. Jangan, Davin.”
Davin mendengus kasar. “Cuma kata lo?” Mata Davin menatap bergetar Aqilla. Dia menelan saliva susah payah. “Lo lebih kata kata 'cuma'. Lo gak sesepele itu, La.”
“Davin ....”
Sedetik kemudian, cowok itu terlempar. Aqilla membelalak, berusaha meraih tangan Davin tapi hanya udara yang berhasil ditangkapnya. Jantung Aqilla berpacu liar. Tangan Aqilla ditarik udara ke belakang tubuh, dikunci. Belakang lututnya ditendang hingga dirinya jatuh bertekuk.
KAMU SEDANG MEMBACA
Unseen [END]
Horror"Gak peduli lo iblis atau apa pun. Sentuh Aqilla, gue bunuh." ~Davin Raygard. *** Aqilla Iluvia menjadi mangsa iblis selanjutnya setelah habis keluarganya dimakan hidup-hidup. Diteror, dikelilingi kegelapan yang tiada henti. Aqilla nyaris kehilanga...