ARA menolehkan kepalanya malas pada Aqilla. Cewek yang terus-terusan bolak-balik menengok ke belakang. Menggigiti bibirnya, mengetuk-ngetuk pulpen ke meja, lalu kembali memandang cowok indigo yang tertidur di atas meja pojok belakang menghadap tembok.Setengah jam Aqilla melakukan hal yang sama. Ara risi sendiri melihatnya.
“Lo kenapa, sih? Dari tadi ngeliatin Davin mulu.” Bosan, Ara bertanya kepo. Ia menopang dagu, Aqilla menoleh ke arahnya. “Lo udah mulai naksir, ya?”
Mata Aqilla membelalak. Ia menggeleng cepat-cepat. Alis Ara semakin naik. “Gak sama sekali. Jangan salah paham.”
“Lo suka sama Davin pun gak ada salahnya. Dia ganteng, populer, lumayan pinter. Gak ada yang salah kalau lo suka.?
“Aku gak suka Davin.” Aqilla menampik perkataan Ara. Ia mencoret-coret buku bagian tengah tak jelas. Memikirkan cara meminta maaf dengan Davin membuatnya stres. Padahal biasanya juga Aqilla tinggal minta maaf. Mengapa dengan Davin Aqilla merasa sangat sulit?
Ara memperhatikan Aqilla dalam diam. Dari wajahnya kentara sekali Aqilla punya masalah. Gelagatnya juga terlihat aneh. Terlebih saat dia berkali-kali menoleh ke arah Davin. “Lo punya masalah sama Davin?”
“Hm. Cuma masalah kecil.” Aqilla tersenyum pada Ara. Berusaha terlihat tidak ada yang perlu dicemaskan. Ara menatapnya ragu.
“Yakin?” Ara memastikan. Aqilla mengangguk-angguk. “Kalo ada masalah apa pun lo bisa cerita ke gue. Anggep kita kayak udah kenal lama.”
Untuk sesaat Aqilla sempat tertegun. Sedetik kemudian senyuman lebar merekah di wajahnya. Ara memang cewek baik. Walau sesekali kata-katanya terdengar sedikit ketus. Aqilla tidak pernah diperlakukan sebegini baiknya dengan teman sebaya.
Bahkan di saat Aqilla sudah berusaha mati-matian mengubur rasa sakit hati, tetap saja segala bentuk sikap ramahnya hanya dianggap sampah.
Aqilla kembali menoleh pada Davin. Cowok itu mengangkat kepalanya, menoleh berbalas menatap Aqilla. Cewek itu tersenyum tipis, tangannya meremas pulpen gemetaran. Davin menegakkan punggung, berdiri, lantas pergi mengacuhkan Aqilla.
Ara mengamati gerak-gerik mereka berdua sedari tadi. Matanya berkedip sekali. “Lo bener-bener punya masalah sama Davin, La.”
“Menurut kamu, Davin pernah marah, gak?’ Aqilla bertanya kepo. Ara menerawang ke atas. Mengingat-ingat kelakuan Davin yang selama ini cuma dia lihat dari kejauhan.
“Setahu gue gak pernah. Davin itu dingin. Jarang banget punya ekspresi kayak orang-orang normal. Dia juga gak pernah marah. Davin itu paling anti deket sama orang.” Penjelasan Ara membuat Aqilla menghela napas panjang.
“Ra.” Aqilla memanggil lemas.
“Hm?”
Aqilla kembali menggelengkan kepalanya. Ia berdiri. “Aku ke toilet dulu.”
Bergegas meninggalkan kelas setelah Ara mengangguk, Aqilla menengok kanan dan kiri mencari ke mana perginya Davin.
Aqilla mendesah panjang tidak menemukan Davin. Seharusnya cowok itu belum pergi jauh. Kalau begini Aqilla tidak tahu kapan dia bisa berbicara berdua dengan Davin. Semenjak kejadian pagi tadi, Davin menghindarinya. Memandangnya saja ogah-ogahan.
Kembali menyusuri koridor yang lumayan ramai, Aqilla masih mencari Davin. Ia sama sekali tidak berniat bertanya pada siswa di koridor ini. Tahu fans Davin banyak, Aqilla bisa habis kalau ketahuan macam-macam dengan cowok itu.
Sampai kemudian, langkah kaki Aqilla berhenti ketika seprang cewek berdiri menghadangnya. Tersenyum penuh arti, dia lantas menyeret Aqilla. Tangannya dingin, mencengkeram kuat sampai kuku-kukunya melukai kulit Aqilla.
![](https://img.wattpad.com/cover/367786359-288-k674092.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Unseen [END]
Horror"Gak peduli lo iblis atau apa pun. Sentuh Aqilla, gue bunuh." ~Davin Raygard. *** Aqilla Iluvia menjadi mangsa iblis selanjutnya setelah habis keluarganya dimakan hidup-hidup. Diteror, dikelilingi kegelapan yang tiada henti. Aqilla nyaris kehilanga...