“HARI ini Papa keluar kota. Kemungkinan agak lama. Jaga diri kamu."~Papa
Memandang kosong sticky note di kulkas, Davin segera melepasnya, menyobeknya menjadi serpihan-serpihan kecil lantas membuang asal tempat. Membuka pintu kulkas, mengambil satu kaleng minuman dan kembali menutupnya.
Davin menarik kursi, duduk sambil membuka kaleng di tangannya lalu meneguknya hingga beberapa kali sebelum akhirnya menaruh sisanya di meja. Tangannya mencengkeram kaleng itu hingga mengerut.
Terpekur beberapa lama. Pandangan Davin berubah kosong, menatap lurus tidak berarti. Sudah cukup lama hubungan ini retak. Seolah tidak ingin memperbaiki, Davin terus tidak mengacuhkan sang papa. Merasa sudah cukup dengan luka-luka yang bahkan sampai sekarang masih menganga lebar.
Tidak ada yang bisa dirinya percaya lagi. Tidak selain sang mama yang telah tiada. Lagipula, Davin sudah kehilangan selera untuk menjalin hubungan dengan siapa pun.
Manik kelabu itu bergulir lurus ke depan. Atensinnya terenggut pada sesosok cowok berwajah setengah hancur. Pipinya retak, bola matanya yang satu menonjol keluar nyaris lepas. Darah mengalir di satu hidungnya. Dia berdiri tidak jauh di seberang meja makan di depan Davin. Semua pintu terbanting menutup, tirai-tirai jendela yang diembus angin tidak lagi bergerak.
Hening.
Cahaya lampu perlahan meremang, berkedip mati menyala. Davin menegakkan punggung, tangannya melempar kaleng ke tong sampah di sisi kulkas. Memasukkan kedua tangan dalam celana selututnya, sedikit menelengkan kepala, memandang datar sesosok yang rasanya dia mengenalnya.
Hantu cowok itu menyunggingkan seulas senyum. Bibir hitamnya robek, memuncratkan darah ke mana-mana. Davin bergidik jijik.
“Berhenti ngotorin lantai rumah gue pake darah busuk lo.”
“Urusan lo sama gue belum selesai. Gara-gara lo gue gagal naik pangkat! Padahal tinggal dikit lagi gue nyaris setara sama Satan!”
Davin berdecih. “Sampah kayak lo mana bisa setara sama Satan.”
“Sampah, ya?” Mendesis kuat, rahang hantu cowok itu mengeras. Retak di wajahnya makin menyebar, celah-celahnya mengucurkan darah. Matanya berubah merah berkilat-kilat, bersamaan kedua tangan yang mengepal kuat.
Davin memalingkan wajahnya ketika beberapa serpihan kaca melesat ke arahnya. Menancap ke lemari kayu di belakangnya. Davin mengusap pipinya. Perih, ada darah yang mengalir.
Kenapa lagi hantu itu ada di rumahnya?
Walau dalam rupa berbeda, Davin tahu dia hantu yang beberapa hari lalu menguntit Aqilla. Nyaris menculik cewek itu. Dia tidak main-main rupanya. Davin yakin pasti ada yang menyuruhnya lagi. Menjanjikan seperti apa yang pernah hantu itu bilang.
Hantu itu memiringkan kepala, tangannya bergerak melayangkan sebuah gelas di meja makan. Davin menatap waspada, sebelum akhirnya melompat berputar menendang gelas yang melesat ke arahnya hingga hancur membentur tembok. Bukan cuma satu, tapi seluruh peralatan makan kini berterbangan.
Davin membelalak. Kekuatan hantu ini tidak seperti yang dia kira. Segera berlari ke belakang lemari untuk berlindung, bersandar dengan napas terengah-engah. Hantu itu bisa saja membunuh Davin sekarang. Tapi, sayangnya Davin sedang tidak ingin mati. Dia harus mencari cara agar hantu itu lenyap.
Tapi, bagaimana?
“Pengecut! Mana Davin yang gue lihat waktu itu, hah?! Yang katanya bakal ngelindungin pacarnya? Cuih!”
Kenapa semua setan manggil cewek itu pacar gue, Sialan?! Davin membatin kesal.
Berbalik dari lemari, menghadap sesosok yang tengah murka itu, Davin melempar sorot dingin. Hantu itu menyipitkan mata. Merasa ada yang aneh. Dia menunjuk pada Davin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Unseen [END]
Horor"Gak peduli lo iblis atau apa pun. Sentuh Aqilla, gue bunuh." ~Davin Raygard. *** Aqilla Iluvia menjadi mangsa iblis selanjutnya setelah habis keluarganya dimakan hidup-hidup. Diteror, dikelilingi kegelapan yang tiada henti. Aqilla nyaris kehilanga...