33. Jangan Dia

134 8 0
                                    

“TERKUTUK!”

“KAMU MAU BUNUH KAMI SEMUA?!”

“KENAPA KAMU GAK PERGI AJA?! JANGAN BUAT KAMI TAKUT!”

“DAVIN MENINGGAL KARENA KAMU! GARA-GARA KAMU, AQILLA!”

***

Napas Aqilla terengah-engah. Dia bangun dari tidurnya. Keringat berkucuran di seluruh tubuh. Jantungnya bergedoran kencang sekali. Mengepal, kedua tangannya tidak berhenti meremas selimut. Manik cokelat miliknya kentara bergetar, raut pucatnya sudah seperti mayat saja.

Aqilla mengedarkan pandangan. Tidak sengaja melihat jam menunjukkan pukul tengah malam. Dia menundukkan kepala, menekuk lutut dan menelungkupkan wajah dalam lipatan tangan.

Terisak, ketakutan. Tidak tahu harus apa. Aqilla memilih mengeratkan pelukan pada tubuh. Merasa ada sesuatu yang merambat di punggung, mencengkeram, dia meringis tertahankan. Sayangnya dia tidak bisa lagi bangun dari mimpi yang kian mencekik lehernya ini.

“La.”

Suara itu terdengar lirih, tapi telinga Aqilla mampu menangkapnya jelas. Bukan, walau terdengar seperti Davin, Aqilla yakin itu bukan cowok itu. Memberanikan diri untuk mengangkat wajah, Aqilla meluruskan pandangan. Sesosok sama persis dengan Davin itu menyunggingkan senyum ramah.

Menelan saliva dengan sakit, tidak bergerak sedikit pun, bibir bergetar Aqilla berucap, “Jangan main-main lagi. Kamu ... kamu gak perlu main-main lagi.”

Sesosok itu memiringkan kepala, sebelum tiba-tiba wajahnya berputar 360 derajat. Mata Aqilla melebar. Tanpa sadar dia menahan napas sesaat. Sesosok di depannya, seseorang yang pernah Aqilla lihat sebelas tahun silam. Dia ... yang memakan mama dan papanya.

Aqilla tidak tahu kenapa ingatan itu tidak pernah bisa buram sedikit pun. Terlalu jernih. Semuanya kelihatan sangat nyata walau termakan waktu lama. Seberusaha apapun cewek itu melupakan, hasilnya sia-sia. Memori itu seolah hidup dalam diri Aqilla. Menjadi separuh jiwanya dan terus menghantui selama dia menghirup oksigen.

Tidak ada wajah menyeramkan; darah ataupun taring. Hanya ada wajah bersih dan putih. Aqilla beringsut menjauh. Ada desisan yang terdengar saat dia bergerak. Dia baru sadar punggungnya benar-benar terasa perih. Seperti ada goresan memanjang vertikal. Tapi, Aqilla tidak mau mengalihkan pandangan.

Pria di depan Aqilla terkekeh menyeramkan. Matanya berkilat-kilat terkena sorotan lampu kamar. Membuat Aqilla makin basah kuyup dan semakin kesulitan bernapas dan menetralkan degub jantungnya.

“Aqilla, kamu masih inget aku, ya?” Dia menganggukkan kepala beberapa kali, mengulum binir tipis. Melanjutkan, “Maaf, ya. Pertemuan pertama kita dulu ... terkesan kurang menyenangkan.«

Dia ingin melawak?

Aqilla masih ingat masa di mana mama dan papanya benar-benar tergenang oleh darah, daging mereka tercabik di mana-mana. Tangan Aqilla mengepal, tenggorokannya merasa tercekat oleh sesuatu. Dia berusaha memalingkan tatapan, tapi tidak bisa. Seolah ada satu tangan tak kasat mata yang menahan dagunya untuk tidak menoleh.

“Aku tahu, kok. Ini semua kedengaran gak adil sama kamu yang gak tahu apa-apa tentang perjanjian antara aku dan kakek kamu.” Dia mengulas senyum menghina. “Hendri ... bener-bener manusia tamak. Aku seneng banget waktu diajak buat kontrak sama kakek kamu. Bayangin dia dilelepin di neraka nanti, bikin aku gak sabar buat cari manusia lebih banyak lagi supaya bisa aku seret ke neraka.”

Aqilla tidak bicara. Tidak juga menampik perkataan sesosok pria dewasa di depannya ini.

“Kamu ... terlalu baik, Aqilla. Sayang, kebaikan kamu harus dibales sebegini nistanya. Yah, walau aku juga gak nyesel, sih.”

Unseen [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang