7. Perasaan yang Berbahaya

395 21 1
                                    


PUKUL 07.30.

Davin mengangkat kepalanya, menengok ke arah kursi yang masih kosong di sebelah Ara. Aqilla masih belum hadir. Kelas ramai karena guru masih belum masuk. Berdecak, ia kembali menempelkan pipinya di atas lipatan tangan. Menatap tembok polos di depan wajahnya.

Seharusnya Davin tahu kalau Aqilla tidak mungkin berangkat setelah kejadian semalam. Ia agak menyesal meninggalkan Aqilla pagi tadi. Bagaimana kalau tiba-tiba Aqilla diganggu lagi? Kan, Davin sendiri juga yang kerepotan.

Davin menelungkupkan wajahnya. Memejamkan mata, otaknya lagi-lagi masih teringat tentang Aqilla yang menangis. Davin tidak tahu kenapa ia sebegini tiba-tibanya mengkhawatirkan Aqilla. Cewek itu bahkan bukan siapa-siapanya.

Terdengar suara decitan, netra Davin dibuat terbuka. Ia melirik ke arah jendela yang dimainkan seorang bocah. Matanya berdarah, duduk di tepi meja Davin. Dia ... anak yang waktu itu. Yang pernah berlari sambil menangis saat Davin pertama kali bertemu Aqilla. Anak laki-laki itu melebarkan senyumnya.

“Kakak kenapa?”

Davin mengacuhkannya. Ia kembali menenggelamkan wajahnya. Berusaha untuk tidur.

“Kakak keliatan gak enak. Wajahku nyeremin, ya?” Anak itu menusuk-nusuk pipi Davin dengan jarinya. Tapi, si empunya hanya diam tidak menanggapi. “Kak, aku gak akan gangguin kakak. Cuma numpang tanya. Kakak pernah kenal aku, gak?”

Menolehkan kepala, menatap wajah mengerikan itu dari bawah. Davin menggelengkan kepala. Anak itu mendesah kecewa. Davin menegakkan punggung, mulai menatap serius anak itu ketika dia mulai berbicara.

“Padahal, udah beberapa hari ini aku cari informasi. Tapi, masih gak ketemu juga.”

“Gue pernah liat lo. Tapi, setelah lo mati.” Senyum yang tadinya terpatri di wajah anak itu kini kembali luntur. Dia kira Davin tahu sesuatu tentangnya. “Lo yang waktu itu jalan gak pake mata sampe mau nabrak cewek di depan gue, kan?”

Anak itu nyengir. “Iya. Pacar kakak, ya?”

Tatapan Davin menajam. Aura dingin keluar di sekitarnya. Anak itu menatap setengah takut pada Davin. Menggelengkan kepala sambil melambaikan tangan. “Bukan, bukan. Pasti bukan pacar kakak. Iya, kan?”

Davin hanya melengoskan wajah.

Anak itu menghembuskan napas lega. Ia mulai teringat sesuatu. Lantas berkata pada Davin, “Kak, kakak yang cewek waktu itu siapa namanya?”

“Aqilla.” Davin menjawab malas. Anak itu mengangguk-angguk paham. Mulai melebarkan kembali senyuman.

“Cantik, ya?”

Udara dingin menyambar tengkuk anak itu. Ia menoleh pada Davin yang meliriknya tajam. Anak itu nyengir. “Gak akan aku apa-apain, kok, Kak. Kan udah punya Kakak.”

“Gak usah mikir yang aneh-aneh.” Davin mendesis. Anak di depannya ini benar-benar tidak tahu atau apa, sih? “Gue tahu ya lo mikirin apa.” Davin memperingati.

Anak itu menggeleng-gelengkan kepalanya. “Aku gak mikir kalau Kakak suka sama Kak Aqilla. Suer!”

Davin melotot.

“Kak Aqilla gak berangkat, ya? Apa dia sakit?” Anak itu mengalihkan topik.

Tertegun. Davin menegakkan punggungnya. Tidak terpikir olehnya kalau Aqilla bisa saja masih syok dan sakit. Atau melakukan hal di luar batas. Lagi pula, orang mana yang tahan dengan teror semengerikan itu. Apalagi ... Aqilla itu cewek.

Anak laki-laki itu berkedip lugu. Melambaikan tangan di depan wajah Davin. “Kalo khawatir mending jenggukin aja pacar Kakak.”

“Hm?” Davin menimbang pendapat anak itu. Mungkin sebaiknya Davin ke rumah cewek itu. Memastikan bahwa Aqilla benar baik-baik saja. “Thanks.

Unseen [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang