21. Menemui Hanna

571 30 0
                                        

“DIA yang mau nyelakain Hanna? Kelihatannya polos, tuh.”

“Luar aja polos, dalemnya busuk.”

“Iya, apa coba salah Hanna sampe dia babak belur? Gara-gara dia Hanna jadi dirawat di rumah sakit. Padahal Hanna murid pendiem di sekolah.”

“Udah, ah. Nanti orangnya denger.”

Sebenarnya Aqilla sudah mendengarnya semua. Cewek yang tengah duduk sendirian di pojok kantin itu bahkan tidak berani menolehkan kepala ke mana-mana. Ditaruhnya kembali sendok yang baru mau masuk dalam mulut. Mendengar semua gunjingan mereka, selera makan Aqilla langsung menguap tak tersisa.

Bingung, tidak tahu harus berkata bagaimana lagi pada mereka semua, Aqilla benar-benar tidak sengaja melakukan semua ini. Dia juga korban. Tapi, dia juga tahu. Mau dijelaskan sampai berbusa, tidak akan ada satu pun yang mempercayainya.

Namanya sudah buruk sejak awal. Tidak ada kesempatan untuk memperbaiki, yang ada Aqilla semakin dijatuhkan. Semakin ditinggalkan dan tidak diinginkan.

Menghirup oksigen panjang, Aqilla beranjak dari duduknya dan memilih pergi. Tapi, baru saja mau melangkah keluar dari bangku, seseorang menarik tangannya. Membuatnya terpekik dan kembali duduk di kursi panjang kantin. Aqilla tergugu melihat Davin berada di depannya.

“Kamu tumben ke kantin.” Aqilla berujar tanpa berkedip. Sejak pagi tadi ia tidak berbicara pada siapa pun. Kalau saja bukan karena lapar, Aqilla memilih tinggal di kelas.

“Temen lo mana?” Davin tidak mengacuhkan pertanyaan Aqilla. Membuka soda kaleng di tangannya, lantas meneguk hingga beberapa kali.

Menghela napas lesu, cewek itu lantas menjawab lemah, “Ara gak masuk. Ada urusan keluarga katanya.”

Davin hanya mengangguk-angguk.

“Davin.” Aqilla memanggil, matanya menatap lurus ke arah mangkuk yang masih utuh tak tersentuh. “Kamu mau nemenin aku, gak?”

“Ketemu Hanna?”

Aqilla mengangkat wajahnya spontan. Menatap Davin lekat-lekat selama beberapa saat. Lalu, terdengar lagi helaan napas. Cowok itu bahkan sudah tahu sebelum Aqilla benar-benar mau menyuarakan isi hatinya.

Berdecih kasar, Davin membuang muka menunjukkan raut kemuakan. Aqilla meliriknya takut-takut.

“Ngapain lo ngurusin banget hidup orang, sih? Emang lo mau ngapain ke sana segala?”

“Kamu bisa baca pikiran aku. Seharusnya kamu udah tahu, kan?”Aqilla menaikkan satu alisnya.

Davin mendengkus, “Tapi, lo punya mulut. Dan gue rasa mulut lo masih berfungsi, kan? Jadi, ngomong yang jelas semuanya sama gue.”

“Davin, kamu percaya, kan, aku gak sengaja nyelakain Hanna. Dia dirasukin. Hantunya ngendaliin aku buat mukul dia terus-terusan.” Aqilla terdiam sebentar. “Aku cuma mau ngomong sama Hanna. Aku mau jelasin semuanya biar jelas.”

“Seharus itu, ya?”

“Seharus itu.” Aqilla sewot sendiri. Davin terus tidak menyetujui rencananya. “Semua orang mikir kalau aku sengaja mau nyelakain Hanna. Padahal aku sendiri gak tahu harus gimana waktu itu. Dia ... nyeremin sumpah.”

Hening sesaat.

Davin hanya diam memperhatikan wajah beku itu. Aqilla tampak tertekan. Seharusnya Davin tahu itu. Tangannya meremas kaleng yang masih berisi sedikit minuman itu hingga gepeng. Davin tidak bisa membiarkan Aqilla terus-terusan seperti ini. Biar bagaimanapun juga, semua yang terjadi memang bukan murni kesalahan cewek itu.

Mengembuskan napas kasar, melempar kaleng di tangannya ke tong sampah di sudut kantin dekatnya, Davin lantas berkata, “Oke. Gue anterin.”

Wajah Aqilla sedikit lebih bercahaya. Dia menatap Davin berbinar, menyunggingkan senyuman agak lebar. “Bener, ya? Awas kalau kamu bohong!”

Unseen [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang