35. Tidak Menyerah

225 18 1
                                    

AQILLA meletakkan pulpen di bagian tengah buku, lantas menutup diary–nya. Setelah sekian lama, buku masa kecilnya itu kembali terbuka. Dia menemukannya di atas tumpukan bersama barang-barang lain di gudang. Sedikit berdebu memang, tapi Aqilla tiba-tiba tertarik untuk menggunakannya lagi.

Menyandarkan punggung ke kursi, kakinya melurus bersamaan dua tangan saling memeluk diri. Dia menggoyang-goyangkan kursi ke kanan dan kiri. Untuk kesekian kalinya kembali hanyut dalam lamunan. Teringat akan Davin. Cowok itu benar-benar tidak bisa hilang dari otaknya.

Kira-kira apa yang sedang Davin lakukan? Walau PadahalAqilla meminta dan menginginkan dirinya menjauh dan tidak berhubungan dengan Davin. Tapi, hatinya menolak. Aqilla telah menggenggam erat nama indigo itu. Tidak mau memberi celah sedikit pun untuk pergi.

Aqilla sendiri sadar. Ia menginginkan Davin. Tapi, kalau ia menuruti egonya, pada akhirnya Aqilla hanya akan kehilangan cowok itu.

Apa dunia memang sejahat ini? Apa Aqilla memang harus selalu sendirian begini?

Lama terdiam, tiba-tiba kaca jendela pecah. Aqilla tersentak, menolehkan kepala ke sumber suara spontan. Beranjak dari kursi, melangkah mendekat ke jendela sebelum akhirnya tubuhnya menegang. Sorot terkejutnya memaku lurus. Ada darah yang mengalir di pada jendela yang sudah berlubang itu.

Menunduk, mata Aqilla menemukan sebuah kertas berbentuk bola kusut. Dipungutnya benda itu dan membukanya. Tidak berisi apa-apa. Hanya sebuah kertas kosong tak berarti. Sekilas pandangan Aqilla menangkap ukiran. Darah yang mengalir di jendela itu membentuk serangkaian kata. Aqilla memperhatikan saksama.

Mau kamu ngejauhin Davin, semua itu percuma Aqilla. Dia udah terlibat sama aku. Jadi, gak semudah itu dia aku lepasin.

Jantung cewek berambut sepunggung itu berdebar tidak karuan. Dadanya naik turun tidak beraturan. Aqilla meremat kertas itu dan melemparnya asal.

Apa yang sebenarnya iblis itu rencanakan?

Ini semua salah Aqilla. Ia yang lebih dulu menarik Davin hingga terlibat dengannya. Cowok itu benar-brnar dalam bahaya.

"AQILLA!"

Terhenyak. Menoleh ke arah lain spontan. Aqilla melbarkan pupil di tempat ia berdiri. Sekelebat bayangan memaksa masuk dalam otak. Kepalanya sedikit berdenyut nyeri. Sesosok cowok, berdiri membelakangi sebuah kolam. Aqilla tidak bisa melihatnya dengan jelas. Cahaya rembulan di belakang cowok itu membayangi wajahnya.

“Aqilla, ... lo denger gue?”

Antara sadar dan tidak sadar. Aqilla tidak bisa membedakan apa ini hanya ilusi atau memang benar-benar terjadi. Aqilla seakan berdiri di depan cowok itu. Ia tidak lagi berada di kamar sebelumnya. Matanya memicing tajam, langkah kakinya terseok mendekat pada cowok yang berdiri mematung.

“Davin?” gumam Aqilla.

Davin mengernyih. “Bye-bye, Cewek Bego.”

Cowok itu menjatuhkan diri dalam air. Wajahnya terkena cahaya bulan sebelum akhirnya tenggelam dan terlihat.

“Davin!” Aqilla membelalakkan mata, hendak berlari ke arah kolam tapi ia terlempar dalam kamarnya kembali.

Cewek itu linglung sesaat di tengah ruangan setengah besar itu. Sampai akhirnya ia berlari menerobos pintu dan menuruni tangga membabibuta. Jantungnya berdegub dua kali lebih cepat. Bajunya basah kuyup akan keringat.

Kolam renang. Kolam renang itu ... ada di rumahnya.

Aqilla semakin tidak bisa mengendalikan diri. Jika Davin pergi meninggalkannya, tidak mungkin ia memiliki alasan untuk memperjuangkan diri. Aqilla tidak mau Davin meninggalkannya dulu. Dia tidak akan membiarkan itu.

Unseen [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang