22. Selalu Ada Untukmu

248 15 0
                                    

“KAMU ajak aku ke mana?” Aqilla melompat turun dari motor. Sementara Davin membuka helmnya, menyangkutkannya di satu spion.

Cowok itu beralih melangkah turun, mengeratkan jaketnya, dan memasukkan kedua tangan dalam saku. Dia menoleh datar pada cewek yang masih mengedarkan pandangan di sisinya.

“Lo buta? Jelas-jelas pasar malem.”

Mendengar itu, Aqilla mencebikkan bibir. Sepertinya memang tidak akan pernah berubah. “Maksud aku, kenapa kamu tumben ngajak aku ke sini? Kamu suka sama aku?”

Mata Davin melotot horor. “Lo– kenapa lo jadi sepede itu, hah?! Dasar gak tahu diri!”

Sedetik kemudian cowok itu berjalan mendahului Aqilla. Cewek itu mengulas senyuman di bibirnya. Mungkin ini hanya halu seorang Aqilla. Tapi, terserah. Aqilla hanya ingin mencoba mendekati cowok itu. Untuk sesuatu yang membuatnya merasa nyaman.

“Davin, di belakang kamu ada setan!”

“Lo itu setannya!”

Lagi-lagi dibuat kesal. Aqilla langsung berlari mengejar sang indigo tergopoh-gopoh. Tangannya memegangi tali tas selempangannya agar tidak jatuh. Cewek itu melangkah cepat, berusaha menyejajarkan langkahnya dengan Davin. Dia menengok ke sana kemari. Mencari sesuatu yang menarik.

Sedang Davin bahkan tidak lagi mau membuka suara. Ia memilih menjauhi kontak mata dengan cewek pembuat marathon jantungnya itu. Manik Davin menoleh ke arah berlawanan dengan Aqilla. Yah, itu lebih baik daripada dia ketahuan salah tingkah karena ucapan cewek itu tadi.

Sialan, kalau sampai Aqilla tahu, cewek itu pasti makin songong tak tertahankan.

Tidak berapa lama, pandangan Aqilla terkunci pada biang lala. Dia mendongakkan kepala, langkahnya tanpa sadar terhenti. Membuatnya dirinya tertinggal oleh Davin. Sejenak, memori Aqilla kembali berputar. Mengingat masa saat dirinya masih bersama dengan sang mama dan papa. Mereka berkeluarga suka sekali naik wahana itu sampai larut. Sampai Aqilla terlelap dalam pangkuan mamanya.

Cewek itu menelan salivanya. Dia memalingkan wajah, melihat biang lala malah menambah sakit sesuatu di dadanya. Aqilla buru-buru mengejar Davin lagi, berjalan beriringan dengannya.

Tidak ada sepatah kata pun yang mereka keluarkan dari mulut. Baik Davin yang masih tidak tahu harus memulai dari mana atau Aqilla yang tiba-tiba terpekur sambil berjalan.

Memberanikan diri melirik cewek di sampingnya, Davin tergugu mendapati Aqilla berwajah pucat. Lebih pucat dibanding sebelumnya. Ada keringat mengalir di dahi dan pelipis cewek itu.

Menyentak bahu Aqilla hingga membuat empunya terkejut, Davin tidak peduli ketika cewek itu melempar tatapan kaget. “Lo kenapa?”

Menggeleng samar-samar, pandangan Aqilla bergulir ke bawah menatap hampa. “Enggak. Gak apa-apa.”

Selalu bersembunyi dari balik telunjuk. Davin berdecak sebal sendiri. Tidak sadarkah ia kalau Davin seberusaha mungkin ada untuknya? Apa Aqilla tidak pernah sadar kalau Davin sedang sudah melanggar segala prinsp lamanya hanya untuk dia?

“Dasar cewek bego.” Davin menyentil dahi Aqilla pelan. Hingga membuat cewek itu mendongak dan bersirobok dengan dua kelereng kelabunya.

Mereka terdiam sesaat.

Davin mencengkeram bahu cewek itu lebih kuat. Aqilla mendongak, membelalak kaget ketika mendapati wajah Davin begitu dekat dengannya. Embusan karbon dioksida menyapu permukaan wajah. “Lo bener-bener cewek paling bego yang permah gue temuin.”

“Davin ....”

“Gue gak ngerti cara pikir lo.” Davin mendesis. “Apa lo selalu nganggep orang cuma debu? Bukannya lo pengen punya temen? Kenapa waktu lo udah dapetin yang lo mau, lo malah bertingkah seegois ini, hah? Lo bego atau apa, sih?”

Aqilla hanya diam. Membungkam rapat bibirnya.

“Mulut lo gak berfungsi? Bisu sekarang?”

“Mas, itu pacarnya nanti nangis loh.”

Suara cowok yang kebetulan lewat itu mengalihkan atensi Davin. Berkedip sekali, Davin segera melepas kedua bahu Aqilla dan mundur selangkah.

Aqilla hanya terswnyum getir. Memalingkan wajah diam-diam mengucek matanya. Perbuatan yang sama sekali tidak luput dari sepasang kelereng kelabu itu. Davin jadi merasa bersalah. Padahal dia hanya berniat menggertak agar cewek itu jujur padanya.

“La.”

“Hm?” Aqilla mengedipkan matanya menghilangkan air, kemudian mengangkat wajah bertatap muka dengan cowok indigo itu. Tidak sampai sedetik, Davin menarik bahu Aqilla. Merengkuh tubuh mungil itu dalam dadanya. Seerat yang Davin bisa. Aqilla memaku.

“Lo punya gue. Lo gak sesendiri yang lo kira.” Davin berujar serius. Tapi, tidak ada balasan sepatah kata pun dari cewek di bawahnya ini. Cowok itu melanjutkan, “Kalo lo mau, gue bisa bantu lo. Tentang masalah lo sama setan itu, mungkin gue bisa bantu kayak yang pernah lo minta.”

Aqilla membelalak. Tanpa sadar, didorongnya Davin menjauh hingga mereka kembali berjarak. Cewek berkucir kuda itu menatap tanpa berkedip. Masih tidak percaya dengan yang didengarnya barusan.

“Kamu beneran?” Ia berusaha memastikan.

Davin hanya mengangguk enteng. “Bukannya itu yang lo mau? Deketin gue, minta bantuan gue. Lo pikir gue gak tahu.”

Entah kenapa kali ini Aqilla yang jadi ragu. Terdiam sebentar, ia bingung harus berkata dari mana. Aqilla masih ingat saat ia meminta bantuan pada Davin di sekolah waktu itu. Seharusnya dia senang karena rencananya berhasil. Tapi, Aqilla tidak tahu. Rasa cemas semakin menggerogotinya tak karuan.

“Aku rasa udah gak perlu.”Aqilla menjilat bibir bagian bawahnya. Di depannya Davin menunggu dengan alis terangkat sebelah.

“Maksud lo?”

“Kamu udah banyak nolong aku. Setelah aku pikir-pikir, iblis itu gak pernah main-main. Kamu pernah nyaris mati cuma karena nolongin aku waktu itu.” Aqilla menggelengkan kepala, menatap Davin dengan bibir terkulum. Lalu, mengimbuhkan, “Aku gak mau ada Hanna yang lain. ”

“Lo gak pengen hidup normal? Lo seneng diganggu sama dia?” Davin memiringkan kepala, tidak mengalihkan matanya sedikit pun dari cewek yang membisu di depannya itu. “Apa lo gak pengen ... lepas dari dia?”

"Tapi, enggak dengan cara bahayain kamu.” Aqilla tersenyum tipis.

Davin mengembuskan napas kasar melihat tingkah cewek ini yang semakin menggila. Kenapa sebegitu menyembunyikan ketakutannya? Apa Aqilla tidak ingat betapa takutnya dia saat berurusan dengan iblis itu?

Ia sendiri bahkan tidak melupakannya.

“Gue tanya sekali lagi. Lo yakin? Lo sendiri lho yang minta bantuan gue.”

Tidak, Aqilla tidak pernah yakin.

Bohong kalau Aqilla bisa menahan semua itu sendirian. Dia sendiri merasa tidak akan pernah sanggup. Namun, dia juga tidak tahu harus berbuat apa.

Kalau sampai Davin kenapa-kenapa karena dirinya lagi, Aqilla tidak tahu apa dia bisa memaafkan dirinya sendiri atau tidak.

“Lo gak yakin, La.” Davin mendengus. Dia sedikit mencondongkan badan, kedua tangannya masih dalam saku. Menatap Aqilla dari jarak tidak lebih sejengkal. “Lo ketakutan. Lo gak sekuat kelihatannya.”

“Tapi, itu bahaya banget, kan?” Aqilla berbalas menatap dalam-dalam. “Kamu bisa aja luka lagi.”

“Itu udah resiko. Lo butuh gue. Dan ya. Gue ada buat lo. Gue bakal bantu lo.”

***

Vote dan komentar serta krisar sangat dibutuhkan. Terima kasih bagi yang telah membaca.

Unseen [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang