Pelajaran olahraga. Aqilla dan Ara sudah siap dengan kaos melekat di tubuh mereka. Berkumpul dengan yang lain membentuk barisan pemanasan. Rambut Aqilla diikat kucir kuda. Berdiri di barisan nomor dua dari empat orang. Di tengah-tengah pemanasan, tepatnya ketika bagian menengokkan kepala ke kanan, Aqilla memerhatikan Davin yang berdiri di barisan belakang.
Bahkan ketika yang lain beralih memutar kepala ke kiri, Aqilla masih bertahan tanpa sadar. Sampai tanpa sengaja manik mereka bertemu. Davin berbalas tatap tanpa berkedip sekalipun. Aqilla menarik dua ujung bibirnya. Tapi, sedetik kemudian Davin malah memberi pelototan horor. Membuat Aqilla tersadar dari lamunannya. Berdecak kesal dan kembali fokus pada pemanasan.
Tapi, tidak pernah kapok. Aqilla selalu sempat menoleh ke belakang, sesekali memerhatikan Davin tanpa cowok itu tahu. Berbeda, Davin tidak mengacuhkannya. Cewek itu terlihat kekanak-kanakkan sekali.
"Pelajaran Olahraga."
Seorang guru berkaos hijau berjalan memantul-mantulkan bola. Berdiri di depan barisan, satu tangan bebasnya berkacak pinggang. Namanya Anton, guru olahraga. Walau begitu, badannya memang sedikit lebih berisi.
"Selamat morning, good pagi untuk all." Dia menyapa dengan kalimat eror. Tidak dipungkiri lagi guru satu ini tingkahnya di ambang batas wajar. Walau begitu, tidak ada satu pun siswa yang tidak menyukai guru ini. "Hari ini kita ambil nilai permainana basket. Nanti kelompok putra dibagi dua aja, putri juga sama. Nanti yang kalah, silakan toilet menunggu."
"Yah, jangan gitu, dong, Pak! Mau kalah atau memang saya gak mau sentuhan sama pel-pelan." Cewek di sebelah Aqilla memprotes, memasang wajah memelas.
Anton berdecak sambil geleng-geleng, menjawab, "Gak ada yang bilang kamu bakal sentuhan sama pel-pelan. Kamu, kan, bagian sikat pembersih."
Beberapa orang menertawakan cewek yang kini mencebikkan bibir itu. Aqilla hanya mengulum senyum.
"Aqilla." Anton memanggil. Membuat si empunya menoleh tersentak.
"Ya?"
"Senyummu manis."
Aqilla hanya terbengong ketika beberapa teman cowoknya menyoraki guru mereka itu. Walau mungkin memang berniat untuk canda-candaan, tetap saja Aqilla malu. Bukan hal spesial lagi kalau Anton ini suka menggoda cewek cantik. Untungnya masih di batas kewajaran.
"Udah, udah. Ini bolanya, cewek mulai duluan." Anton melempar satu bola di tangannya, ditangkap oleh cewek yang berada di barisan depan Aqilla.
Grup cewek mulai membagi jadi dua kelompok. Ara dan Aqilla satu kelompok berdasarkan absen supaya lebih mudah. Pertandingan dimulai. Bola dilempar ke atas, direbutkan dua orang pemimpin di tengah lapangan. Satu cewek mendapatkannya. Berlari, menerobos lawan grasak-grusuk, baru saja mau melompat melempar, seseorang menangkis bola duluan.
Aqilla siap-siap, menangkap bola itu dia lantas berlari ke ring satunya. Sayang dia dihadang beberapa lawan, melihat Ara melambaikan tangan jauh di depannya, Aqilla langsung melempar bola. Tapi, satu cewek lain menangkapnya. Dia cewek yang protes tadi. Setahu Aqilla namanya Kira. Feminim, ke mana-mana selalu membawa kipas dan bedak.
Kira memeluk bola itu, beberapa lawannya langsung menyerobot berusaha merampas. Tapi, mereka saling tidak mau mengalah. Alhasil, mereka jatuh-jatuhan. Berkumpul merebutkan bola yang masih dipeluk erat Kira. Aqilla diam di tempat, meringis sendiri melihatnya.
Di satu sisi, Anton sudah meniup peluit puluhan kali, melambaikan tangan dari tepi lapangan. Tidak ada yang menghiraukan. Bahkan kaum adam yang masih leyeh-leyeh menunggu hanya duduk diam menonton.
"Heh! Kalian ngapain?! Bolanya itu buat dilempar bukan dipeluk! Ealah!" Anton terlihat senewen sendiri.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Unseen [END]
Korku"Gak peduli lo iblis atau apa pun. Sentuh Aqilla, gue bunuh." ~Davin Raygard. *** Aqilla Iluvia menjadi mangsa iblis selanjutnya setelah habis keluarganya dimakan hidup-hidup. Diteror, dikelilingi kegelapan yang tiada henti. Aqilla nyaris kehilanga...