“DAVIN!”Sebuah mobil menabrak tiang listrik. Bagian depannya hancur tak tersisa, asap mengepul tebal menyelimuti udara yang tadinya bersih. Semua orang berbondong-bondong lari menghampiri sang supir.
Menarik keluar pria yang seluruh bagian kepalanya bernoda merah itu. Dia meninggal dunia. Juga seorang wanita yang duduk di samping kursi kemudi.
Korban kecelakaan.
Davin kecil berdiri linglung di tengah jalanan. Nyaris saja ia juga ikut menjadi korban kecelakaan dua orang itu. Ia menatap orang-orang dengan pandangan tak mengerti. Merasa diperhatikan, Davin menoleh ke sisi jalan yang satunya. Seorang bocah seumurannya berdiri. Melambaikan tangan menyuruhnya ke sana.
Merasa penasaran, Davin mulai berjalan mengikutinya. Mengabaikan orang-orang yang tengah sibuk mengurusi dua mayat baru itu. Bocah itu terlihat lebih pucat dari anak kebanyakan, tersenyum lebar dengan gigi-gigi putihnya. Davin semakin mendekatinya sebelum ada suara menginteruksi.
“Davin!”
Seorang wanita meraih tangan Davin, membuat anak kecil itu mau tidak mau berbalik. Mamanya menyapu pandangan ke seluruh tubuh Davin, memutar-mutar badan anak itu mencari luka. Tidak ada. Davin hanya diam diperlakukan sebegini khawatirnya oleh sang mama.
“Davin gak apa-apa, Nak? Gak ada yang luka, kan?” tanya sang mama bergetar. Wajahnya banjir keringat. Seluruh tubuhnya kebas luar biasa melihat putranya nyaris tertabrak mobil. Ia tidak akan memaafkan dirinya sendiri kalau sampai Davin kenapa-kenapa.
Davin mengangguk dua kali. Masih sesekali menengok ke belakang mencari anak kecil yang tadi. Matanya memandang sekeliling. Tidak ada anak kecil tadi. Dia ke mana?
“Davin, Davin tadi mau ke mana? Kenapa gak bilang sama Mama?”
“Davin diajak main. Tapi, sekarang dia udah pergi.” Lagi-lagi Davin menengok ke tempat di mana anak kecil tadi terakhir kali berdiri. Mamanya mengikuti pandangan sang putra. Tidak ada anak satu pun di daerah jalanan sesepi ini. Hanya orang-orang yang kebetulan lewat.
Mamanya mulai khawatir. Takut jika yang ditemui Davin bukanlah anak pada umumnya. Dari lahir Davin sudah diberi keistimewaan yang jarang anak lain miliki. Davin bisa melihat mereka yang tak kasat mata. Berkomunikasi, bahkan tidak jarang Davin bermain bersama mereka.
Namun kelebihan Davin itu juga menjadi kelemahannya. Semua anak menjauhi Davin. Mereka selalu beralasan kalau Davin itu menyeramkan karena berteman dengan para hantu. Mamanya tidak mau jika Davin terlalu berhubungan dengan mereka yang tidak terlihat. Davin terlalu kecil untuk menghadapi bahaya tersirat yang mungkin sewaktu-waktu bisa terjadi.
Meraih bahu Davin. Tangan satu sang mama mengusap lembut pipi temban putra semata wayangnya. “Davin dengerin Mama, ya. Davin gak boleh pergi ke mana pun tanpa izin dari Mama. Nanti Mama sedih. Davin juga gak boleh terlalu deket sama temen-temen Davin yang sekarang.”
“Maksud Mama temen Davin yang mana?”
“Temen-temen Davin yang gak bisa orang lain liat. Davin gak boleh terlalu deket sama mereka, ya.”
Davin mengangguk. Melihat itu mamanya meraih tubuh Davin, mendekapnya seerat mungkin seolah tidak mau berpisah. Terlalu egois memang. Tidak mengizinkan anaknya berteman bahkan jika ada yang bersedia di antara yang menolak. Tapi, ia juga tidak mau kehilangan Davin.
Davin itu segalanya.
Tidak ada yang bisa mengambil putranya dari tangannya sendiri.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Unseen [END]
Horror"Gak peduli lo iblis atau apa pun. Sentuh Aqilla, gue bunuh." ~Davin Raygard. *** Aqilla Iluvia menjadi mangsa iblis selanjutnya setelah habis keluarganya dimakan hidup-hidup. Diteror, dikelilingi kegelapan yang tiada henti. Aqilla nyaris kehilanga...