14. Kehilangan

293 17 0
                                    

BEBERAPA hari kemudian, acara perkemahan diadakan di pegunungan. Saat itu Aqilla pernah menanyai Davin tentang persiapannya. Cowok itu masih sama. Selalu menjawab segala pertanyaan dengan ketus dan sinis. Walau bagi Aqilla bukan masalah selama Davin mau berteman dengannya, tapi jika orang lain mendengar bisa saja tersinggung.

Tidak ada yang tahu bagaimana Davin dari dalam yang sebenarnya. Menurut yang Aqilla dengar, banyak orang mengatakan bahwa Davin itu idaman. Kekurangannya hanya satu. Sikapnya yang tidak bisa didekati.

Aqilla melihat cowok itu duduk di sebatang kayu tumbang tidak jauh dari area perkemahan. Memakai tudung jaket, menekuk kedua lutut memandang hutan.

“Samperin aja, La. Dari tadi kaki lo gerak mulu.” Ucapan Ara mengagetkan Aqilla, cewek itu menoleh ke arah sang teman, menatap tidak mengerti.

“Aku? Nyamperin Davin?” beonya.

Ara mengangguk. Mereka duduk di tenda tidak terlalu lama setelah selesai membangunnya. Beristirahat sebelum persiapan nanti malam. Mereka akan berkemah dua hari. Yah, tidak mau mengambil waktu terlalu lama karena pasti akan merepotkan kalau terjadi hal yang tidak-tidak.

“Enggak, ah. Nanti aku malah ganggu.”Aqilla kembali memandang punggung cowok itu. “Lagian, Davin lagi pengen sendirian juga.”

“Tapi, elonya enggak,” bantah Ara, “udah sana, keburu dipincut cewek lain nanti.” Ara menarik Aqilla keluar tenda, mendorong punggung sang teman ya berjalan ke arah Davin berada. Aqilla masih menengok ke arah Ara merasa tidak yakin.

Baru pertama kalinya Aqilla merasa tidak berani bersua dengan cowok indigo itu. Yah, setelah kejadian sore waktu itu rasanya Aqilla sudah sangat membuat Davin susah. Mungkin seharusnya Aqilla senang karena pendekatannya berhasil. Berharap cowok itu masih mau membantunya menyelesaikan masalah dengan sang iblis.

Tapi, setelah dipikir-pikir Davin bukan tandingan iblis itu. Beberapa kali Davin nyaris terluka hanya karena melindunginya. Dan itu sama sekali membuat Aqilla tidak tenang. Dia takut Davin kenapa-kenapa.

Melangkah mendekat dan berdiri di belakang Davin, bibir Aqilla terbuka dan tertutup hendak mengatakan sesuatu. Sayang, dia terlalu canggung. Tangannya sudah gatal ingin menyentuh pundak si dingin, tapi dia takut Davin mengusirnya. Secara keketusan cowok itu tidak pernah ada duanya.

“Lo mau ngapain sih sebenernya?” Cowok itu berbalik, menghadap cewek yang terjenggit kaget. Aqilla membungkam bibirnya rapat-rapat, jemarinya saling bertautan di belakang tubuh. Davin memandang dengan mata memicing. Sebelum akhirnya menghela napas panjang. “Duduk.”

Aqilla menurut. Langsung mendudukkan diri di sebelah Davin. Davin. Cewek itu meluruskan kaki, tangannya bergerak menyelipkan anak rambut yang diterpa angin. “Kamu sendirian?”

“Lo buta?” Davin melirik hina. Menoleh melempar pelototan, Aqilla beralih meninju lengan cowok itu kesal.

“Kasar banget! Aku kan cuma basa basi.”

Terdengar sirene dari arah wilayah perkemahan. Aqilla menoleh spontan, memandang orang-orang yang mulai berkerumun. Dia tahu bahwa itu merupakan tanda pengumuman untuk berkumpul.

“Davin, ayo kumpul– kamu mau ke mana?”

Cowok itu malah melangkah nerlawanan arah. Aqilla menatap punggung itu lama dan akhirnya menghela napas.

“La, kumpul!” Ara berteriak sambil melambaikan tangan. Aqilla tersentak, menjawab iya lalu berlari menghampirinya.

***

Malam harinya, guru mengadakan tantangan untuk murid-murid. Setiap tenda diwajibkan untuk mengambil minimal satu bendera yang sudah mereka ikat di salah satu pohon dalam hutan. Guru mengatakan bahwa tali merah itu hanya diikat pada pohon dekat perkemahan. Jadi, mereka tidak perlu pergi jauh-jauh.

Sesuai kelompok tenda, Aqilla dan Ara kini berjalan berdua. Sementara keempat anggota lain memimpin di depan. Aqilla memeluk lengan Ara, temannya itu tampak menyorotkam senter ke pohon-pohon yang mereka lewati. Mereka masih belum mendapatkan satu pun bendera.

“Kita pencar aja, deh.”

Salah satu cewek di depan Aqilla dan Ara berbalik. Capek mencari tidak jua menemukan. Aqilla dan Ara saling berpandangan. Merasa agak tidak yakin dengan saran yang diusulkan.

“Ini udah malem, nanti kalau ada apa-apa, gimana?” tanya Aqilla. Cewek berjaket bulu yang berdiri paling kanan menyedekapkan kedua tangan, melempar tatapan tidak suka pada Aqilla.

“Kita pencar. Itu kalau kalian tetep mau satu tenda sama kami.” Dia iemudian berbalik pergi, meninggalkan Aqilla dan Ara berdua dalam keheningan malam.

Aqilla menghela napas panjang. Ara mengusap lengan cewek itu. Mengulas senyum tipis seolah semua akan baik-baik saja. “Kita cari aja, La. Mereka gak berhenti ngomong kalo gak kita turutin. Emang dasar bayi cabe-cabean!”

“Bukan gitu, Ra. Aku cuma agak takut kalau gelap-gelap cuma berdua aja.”

Aqilla mengedarkan pandangan. Benar-benar tidak ada setitik cahaya kecuali dari arah perkemahan. Mereka sedang menyalakan api unggun besar-besaran. Aqilla hanya takut iblis itu mengikutinya, lalu kembalo meneror. Masalahnya Davin berbeda kelompok, dan sinyal di ponsel lumayan susah.

“Kan ada gue, La.” Ara menghibur. “Gak bakal ada apa-apa, kok. Gue juga udah bawa senter sendiri. Jadi, jangan panik duluan.”

Mengangguk, Aqilla mengulum bibir berusaha mengiyakan walau dalam hati masih ragu. Saling memeluk lengan, Aqilla bahkan tidak mau melepas Ara. Ara tidak mempermasalahkannya, malah ikut memegang tangan Aqilla.

Mereka berjalan beriringan, mengedarkan pandangan ke sekitar. Ara menyorotkan senter ke mana-mana. Kata guru, mereka memasang banyak bendera. Hanya saja mereka tidak semudah itu menampakkkan bendera di depan mata. Maka dari itu, para peserta harus teliti.

“Ra, Ra, coba arahin ke atas!” Aqilla berseru heboh mengguncang-guncang lengan Ara. Ara langsung menaikkan senter, mencari tempat yang dimaksud Ara. “Itu, benderanya ketutupan daun!”

“Ah, bener, pantes gak kelihatan.” Ara mengangguk-anggukkan kepala, lantas melanjutkan, “Dasar guru-guru picik!”

“Gimana cara ngambilnya? Itu tinggi banget.” Aqilla bergumam lemah, menatap sayu bendera merah yang terikat di antara ranting-ranting bercabang. Ara memutar kepala ke segela arah.

“Gue cari kayu dulu. Lo di sini aja, ya? Tungguin benderanya, jangan sampe ada yang ngambil sebelum kita,” katanya.

Aqilla mengangguk dua kali. “Tapi, jangan lama-lama.”

Ara hanya mengangguk sekilas sebelum akhirnya berbalik menjauh. Mencari kayu panjang untuk melepas ikatan yang terlihat kendur pada bendera itu. Menemukan satu yang lumayan panjang, senyum Ara merekah. Dia kemudian berbalik dan berlari ke tempat semula.

Tapi, tiba-tiba langkahnya terhenti. Mengerjapkan mata beberapa kali, cengkeraman tangan pada kayu yang dibawanya melemah hingga jatuh. Aqilla tidak ada.

“La?” Ara memanggil setengah berteriak. Dia mengedarkan pandangan dengan senternya. Berusaha mencari keberadaan sang teman. “Aqilla!”

Tidak ada siapa pun.

“Sial!” Ara memaki diri. Dia lantas berlari ke arah perkemahan. Memang jaraknya agak jauh, tapi seharusnya tidak akan ada yang tersesat karena api unggun yang lumayan besar itu menjadi satu-satunya titik cahaya di hutan.

Ara berlari sampai napasnya terengah-engah. Tidak sengaja menabrak punggung seseorang hingga nyaris membuatnya terjungkal. Ara berhenti, tertegun ketika cowok itu berbalik menghadapnya. Baru saja di mau melengos pergi, Ara sudah menahan tangannya duluan.

“Aqilla ... hilang.” Ara berkata dengan napas memburu.

Di depannya Davin langsung berlari membabibuta masuk ke hutan tanpa mengindahkan teriakan Ara yang melarang karena gelapnya di sana.

***

Silakan vote dan komentar. Kalau tidak suka cukup tinggalkan. Simpel.

Unseen [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang