AQILLA mematung. Kepalanya bergerak kaku, manik cokelatnya bergulir menatap sosok di depannya. Iblis itu menyunggingkan senyum hingga kepalanya meneleng. Aqilla menelan saliva. Tiba-tiba lupa cara bernapas. Bahkan entah sejak kapan tangan Aqilla meremas serpihan kayu erat-erat.
Davin harus segera pergi. Cowok itu tidak boleh kembali terluka. Menolehkan kepala, Aqilla melihat Davin terdiam. Wajah cowok itu tampak mengeras. Tatapannya menghunus mematikan pada iblis yang berdiri di depan mereka.
“Davin ....” Menggeleng lemah, berharap cowok di depannya mau mendengarkannya. Aqilla menggigit bibir ketakutan. “Tolong pergi.”
Davin tidak menjawab.
Melihat interaksi mereka, iblis itu lantas menundukkan kepala, terkekeh merdu. Merasa baru pertama kali ini melihat Aqilla sebegitu lemahnya. Davin yang begitu keras kepala. Bahkan tidak memedulikan keselamatannya sendiri.
Melepaskan pandangan dari Aqilla, Davin menegakkan punggung. Ia berdiri tegap satu meter di depan iblis itu, Davin melempar pandangan tidak bermakna. Urusan ini harus cepat diselesaikan.
“Kita selesaiin sekarang?”
Dahi iblis yang masih dalam wujud manusia itu mengerut. Mengangkat wajah meluruskan pandangan, iblis itu mengembuskan napas lama. Masih mempertahankan sunggingan ramah. “Bukan kita yang bakal nyelesaiin.”
Sebuah seringaian terukir.
Davin menolehkan kepala. Membelalak mendapati Aqilla sudah berdiri di sampingnya. Kepalanya tertunduk, kedua tangannya memegang pedang entah dari mana. Entah sejak kapan ia terlepas dari ikatannya. Kedua bahu cewek itu bergetar. Dia menangis terisak.
“Tapi, kalian.”
Sedetik kemudian, Aqilla mengayunkan pedang ke arah bahu Davin. Cowok itu mundur mengelak. Kehilangan kemampuan untuk melawan, tidak mengerjap sedetik pun. Davin membisu selama beberapa saat. Cewek di depannya menangis keras. Terus bermain dengan pedang tanpa tahu cara berhenti.
Tidak mungkin Davin melawan Aqilla. Cewek itu bahkan tidak berani mengangkat kepalanya. Kakinya berjalan terseok, tubuhnya gemetar. Sesuatu tercubit, membuat Davin meringis dalam hati. Ingin menghentikan semua, tapi ini di luar kendalinya. Dia juga tidak tahu seberapa kuat iblis itu.
“Berhenti!”
Suara Aqilla terdengar serak. Dia nyaris menjerit ketika pedangnya nyaris mengenai kepala Davin. Cowok itu terus menghindar ke belakang. Dia bergeser miring beberapa kali ketika ayunan berantakan Aqilla berusaha membelah dirinya. Aqilla makin histeris melihatnya.
“BERHENTI!” Aqilla berteriak parau, sayangnya itu tidak dihiraukan sama sekali. Aqilla kehilangan akal. Tubuhnya seolah mati rasa, tidak bisa dirasakan selain napasnya yang tersenggal. Cowok itu harus pergi. Aqilla tidak mau membunuh Davin dengan tangannya sendiri.
“PERGI! PERGI, DAVIN!”
Aqilla menjerit kesakitan. Dadanya seolah ditusuk dalam-dalam, matanya seolah dijejalkan debu hingga terus memerih. Dia berusaha menahan tangannya. Tapi, semua itu sia-sia. Iblis itu mengendalikan dirinya. Lagi. Setelah hari di mana Hanna juga nyaris mati karenanya.
Rahang Davin mengeras, ia menunduk, berputar ke depan melewati Aqilla. Mengungkung cewek itu dari belakang memegang pedang di tangan Aqilla. Mencengkeram kuat, buku-buku tangan Davin memutih menahan tangan cewek di dekapnya.
“La, dengerin gue.” Davin berbisik, bersamaan tidak membiarkan tangan-tangan Aqilla bergerak lebih bebas. Cewek itu mengatur napasnya, sedikit menolehkan kepala, melirik sang indigo ragu-ragu. “Gak apa-apa. Gak apa-apa kalo lo mau nangis. Tapi, jangan pernah usir gue. Sekali pun ... tolong jangan pernah.”
![](https://img.wattpad.com/cover/367786359-288-k674092.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Unseen [END]
Horror"Gak peduli lo iblis atau apa pun. Sentuh Aqilla, gue bunuh." ~Davin Raygard. *** Aqilla Iluvia menjadi mangsa iblis selanjutnya setelah habis keluarganya dimakan hidup-hidup. Diteror, dikelilingi kegelapan yang tiada henti. Aqilla nyaris kehilanga...