10. Pandangan Gelap

241 11 0
                                    

"DAVIN?"

Suara itu terdengar sendu. Mampu menghentikan langkah sosok di anak tangga paling bawah. Tangan Davin mengerat pada pagar pembatas tangga, sorot matanya langsung berubah hampa seketika.

"Papa udah pulang dari luar kota. Kamu gak mau nyapa Papa?" Pria paruh baya itu berdiri tegap tidak jauh dari tempat Davin. Gara memandang sang putra menyakitkan. Sudah lama sekali dia tidak pernah berbincang dengan Davin.

"Gue gak peduli." Menjawab dingin, cowok indigo itu menaiki tangga acuh tak acuh. Gara menghela napas panjang, tidak mau memperkeruh suasana atau malah membuat putranya semakin menebar bom atom di sekitarnya.

Davin masuk dalam kamar. Dilemparnya tas ke atas kasur, mencopot sepatu lalu membuangnya ke sudut ruangan tidak peduli. Davin meluruskan pandangan selama beberapa saat.

Masih ada.

Rasa sakit itu masih terasa seperti baru terbuka. Usaha apa pun yang Davin lakukan, semuanya menuai sia-sia. Davin berjalan ke arah kamar mandi, menyalakan keran air dan membasuh wajahnya berkali-kali. Sampai basah kuyup jaket yang melekat di tubuhnya. Cowok itu menelan saliva dengan sakit. Memamdang pantulan diri di cerminnya.

Mau sampai kapan?

Davin sendiri tidak tahu mau sampai kapan dirinya terus terkukung oleh rasa sakit itu. Kehilangan sesosok yang menjadi malaikatnya, selalu memberi senyuman di saat yang melontarkan makian. Davin bahkan masih ingat bagaimana cara papanya menendang sang mama.

Tidak. Davin tidak bisa memaafkan semua itu. Mamanya sudah sangat tersakiti, tidak ada yang memberi setidaknya sedikit rasa simpati. Bahkan papanya sendiri sama saja. Padahal waktu itu Davin sudah menuruti semua kemauan sang papa. Berusaha menjadi anak baik agar tidak ada yang melukainya atau sang mama.

Sayang semua percuma.

Maka Davin akan membuat ssmua yang dilakukan papanya itu juga percuma.

"Kakak?"

Savin menoleh pada seorang bocah yang pernah ia temui di sekolah. Nyengir dengan deretan gigi yang sudah membusuk. Matanya lagi-lagi mengairi darah hingga ke pipi. Aroma menyengat menyeruak masuk dalam indra penciuman cowok itu.

"Kakak, tadi papa Kakak, ya?" Bocah itu mengayunkan tungkai-tungkai kakinya menunggu jawaban. Tapi, Davin malah melempar tatapan mematikan. Menghunus begitu tajam sampai si bocah beringsut menjauh. "Kakak, aku takut."

Cowok itu hanya melengos pergi. Entah bagaimana bocah itu bisa mengikutinya sampai ke rumah. Bahkan melihat wajah-wajah rusak 'mereka' yang tinggal di rumah saja Davin sudah bosan. Cowok itu mengambil asal kaos dalam lemari, melepas jaket juga seragamnya lalu menggantinya dengan yang baru.

Setelah melempar bajunya ke kamar mandi, Davin menjatuhkan diri di atas kasur. Tangannya terangkat sebelah menutupi wajah dari silaunya lampu. Terdengar embusan napas lumayan panjang.

Sesaat kemudian, ponsel Davin bergetar. Membuat atensi cowok itu teralihkan seketika. Davin merogoh dalam saku celana, membuka layar benda pipih itu. Dia mengernyit ketika mendapati nomor tidak dikenal. Memilih melempar ponselnya ke bantal, Davin sudah bosan dengan pesan-pesan tidak bermutu dari cewek-cewek.

Tapi, lagi-lagi ponsel Davin bergetar. Bukan hanya sekali, terdengar dering telepon kemudian. Davin berdecak kesal. Menolehkan kepala meraih kembali ponselnya dengan kasar. Lagi-lagi nomor itu. Davin rasa orang ini baru pertama kali menghubunginya.

Davin mendesis. Ia beralih membuka pesan dari nomor tidak dikenal barusan. Sesaat, Davin menahan napasnya.

+62xxx
Davin.
Ini aku Aqilla. Aku dapet nomor kamu dari grup kelas.
Davin, kok gak dibales, sih?
Davin!
DAVIN RAYGARD!
Davin sayang. Kalo gak dibales aku bakal teror kamu setiap hari loh.

Unseen [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang