15. Kekhawatiran

195 11 0
                                    

DI mana?

Davin sudah berlari ke sana kemari, sampai napasnya tersenggal-senggal, kakinya nyeri karena tidak berhenti melangkah. Punggungnya sudah basah kuyup akan berkeringat. Dia menyibak semak belukar, menegok kanan dan kiri, menyorotkan senter ke segala arah sebelum akhirnya kembali melangkah.

“Aqilla!” Dia berhenti sejenak. Senter di ponselnya mengeraha ke bawah. Davin kelabakan, tidak tahu harus ke mana lagi karena tidak pernah mengenal tempat ini.

“Aqilla, lo di mana?”

Kesekian kalinya berteriak tanpa sahutan balik. Davin meninju pohon di sampingnya. Benar-benar tidak berguna. Biasanya indra pendengarannya selalu setajam silet. Tapi, kali ini kenapa tidak ada suara apa pun. Seolah memang tidak ada orang di sini.

Padahal Davin sudah berlari jauh. Suara perkemahan yang sempat didengarnya riuh tadi menghilang. Tapi, kenapa tidak ada tanda-tanda eksistensi Aqilla? Di mana sebenarnya cewek berisik itu?

“Hihihi.”

Dalam hati Davin memaki mendengar suara memuakkan itu. Dia mendongak ke atas, mendapati seorang hantu cewek duduk sambil tertawa tidak jelas. Rambut sepanjang punggungnua menutupi seluruh wajahnya. Dress putih dengam bercak darah di bagian perut itu diterpa angin malam.

Mundur menjauh, Davin memilih meninggalkannya dan berlanjut mencari Aqilla. Tidak mau membuang waktu dengan meladeni hantu-hantu yang entah kenapa selalu muncul menganggunya.

“Kamu udah dua kali lewat sini. Bolak-balik kayak setrika.”

Langkah Davin terhenti seketika. Kepalanya sedikit berputar kepala dengan kerlingan manik kelabunya lewat sudut mata. Davin bahkan baru pertama kali ini berada di tempat ini. Tidak mungkin dia terus mengulang di tempat yang sama.

Davin akhirnya kembali berbalik. Menatap hantu yang asik cekikikan mengayun-ayunkan kaki yang tenggelam akan dress putihnya. “Dua kali? Gue gak ngerasa udah dua kali ketemu lo.”

“Aku udah lihat kamu lewat tadi. Kamu ramah nyapa aku.” Hantu cewek ifu memiringkan kepalanya. “Kok sekarang jadi ketus?”

Davin tidak pernah ramah pada siapapun.

Cowok itu menyedekapkan kedua tangannya. Kalau hantu cewek itu bermain-main dengannya, tkdak akan segan-segan Davin melawannya bahkan mengirimnya langsung ke neraka. “Lo tahu dia pergi ke mana?”

“Ke sini. Kan kamu di sini.” Hantu itu kembali tertawa sampai punggungnya bergetar. Ada nanah yang jatuh dari balik rambutnya.

Davin menatap datar. Ia mulai tidak suka ini. Mengeraskan rahang, memalingkan wajah sekilas muak melihat hantu itu. “Gue lagi gak mau main-main sama lo karena gue emang gak pernah suka main. Jadi, mending lo bilang sekarang ke mana itu cowok pergi.”

“Ke ...,” menjeda sejenak, hantu itu celingak-celinguk, lalu tangan menunjuk ke satu arah, “sana ... kayaknya.”

“Jangan kayaknya, Setan!” Emosi Davin tersulut. Napasnya kembali terengah. Lebih capek menghadapi hantu dibanding berlari-lari. “Seharusnya lo potong rambut dari dulu!”

“Kalo aku potong rambut, nama aku bukan kuntina lagi, dong. Kamu gimana, sih.” Hantu itu cekikikan sambil punggungnya bergetar. Davin menunggunya berhenti, tidak mau mengumbar emosi terus-terusan. Hantu cewek itu menarik napas dalam-dalam, berhenti tertawa. “Oke, dia bawa satu cewek tadi. Arahnya emang bener ke sana. Tapi, aku gak yakin mereka bener-bener netap di satu tempat.”

Akhirnya, Davin tidak lagi berbasa-basi, langsung berbalik hendak berlari pergi sebelum tiba-tiba sebuah suara kembali menginterupsi.

“Eh?! Itu gak gratis! Kamu jangan kabur atau aku ganggu kamu plus pacar kamu!”

Unseen [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang