31. Bahaya Mengintai

220 13 0
                                    

“KAK Aqilla?”

Terdengar suara seorang bocah. Aqilla menolehkan kepala ke sisi kanan. Sejenak matanya melebar, tubuhnya berubah menegang. Seorang hantu anak kecil duduk di atas wastafel, mengayun-ayunkan kakinya sembari tersenyum tipis.

Spontam mundur, Aqilla menatap waspada. Hantu bocah itu menelengkan kepala. Dia menunduk, menatap tubuhnya. Padahal dia sudah berusaha membersihkan diri sebelum bertemu dengan pacar Davin –menurutnya.

Tapi, sepertinya percuma. Masih ada darah yang mengalir dari kelopak matanya. Wajahnya juga terasa kasar. Hantu bocah itu menghela napas, bahunya merosot lemas. Dia mendongakkan kepala, melihat Aqilla menggapai gagang pintu. Membukanya, tapi ternyata macet. Aqilla memepetkan diri.

“Kak, aku nyeremin banget, ya?” Hantu bocah itu bertanya, melompat turun membuat Aqilla menjerit di tempat. Hantu bocah itu kembali mundur. “Kak–”

“Pergi!”

“Kak, aku baik, kok. Aku gak akan gangguin Kakak.”

Aqilla tidak mengindahkan. Kakinya seolah berubah jeli. Sampai dlia tidak kuat lagi menahan beban tubuh, cewek itu merosot. Duduk menekuk lutut menyembunyikam wajah dalam lipatan tangan.

Hantu bocah itu menatap sedih. “Kak, jangan takut. Aku cuma mau kasih informasi tentang Satan. Iblis yang suka ganggu Kakak.”

Sejenak, perhatian Aqilla sedikit teralihkan. Dia menelan saliva berat. Aqilla tidak tahu dari mana hantu berukuran anak kecil bisa mengenal iblis yang menerornya.

Memberanikan diri, Aqilla lantas mengangkat wajah pucatnya, meluruskan pandangan ke arah hantu itu. Bibirnya yang mengering dia jilat. Napasnya yang berantakan berusaha diatur.

“Kamu ... tahu?”

Hantu itu mengangguk dua kali. “Tahu. Aku temennya Kak Davin. Kakak pacarnya, kan?«

Aqilla menggeleng pelan. Ia masih merasa harus waspada pada hantu di depannya ini. “Aku ... aku mau keluar.”

“Jangan dulu, Kak! Ini penting lho.” Hantu bocah itu spontan melangkah maju, Aqilla masih diam di tempat. Mulai berpikir hantu di depannya itu tidak terlalu buruk. Hantu bocah itu melanjutkan dengan air wajah serius. “Satan udah mulai gak main-main lagi sama Kakak. Banyak hantu yang ngikutin Kak Aqilla sekarang. Yang ngincer Kakak gak cuma Satan aja, bahkan pengikutnya juga. Kakak ... makin gak aman.”

Hening.

Aqilla menggulirkan pandangan ke arah lain, kelereng cokelatnya kentara begetar gelisah. Dia menggigit bibir. Jantungnya berdegub tidak beraturan. Sedang tangannya meremas rok menahan ketakutan.

Tidak adil.

Perlawanan antara manusia dengan makhluk tidak kasat mata. Aqilla bingung harus apa sekarang. Pantas beberapa hari yang lalu ada hantu yang tahu nama Aqilla. Mungkinkah dia satu dari pengikut iblis itu? Apa mereka benar-benar mengincar Aqilla ramai-ramai?

Mengembuskan napas panjang, Aqilla kembali menelungkupkan kepala. Merapatkan kelopak mata, mencari udara ketenangan yang seolah-olah terenggut tak tersisa. Aqilla tidak tahu ingin menyerah atau tetap berusaha hidup. Dia bahkan tidak bisa melihat mereka, tidak tahu cara mengangkat pedang perlawanan.

Kalau begini terus-menerus, mustahil ia akan tetap hidup ketika dirinya sudah di ambang jurang tanpa seutas tali.

Dan Davin ... Aqilla hanya akan membahayakannya.

Aqilla mengangkat pandangannya. Namun, sesosok hantu itu sudah tidak lagi menampakkan batang hidungnya. Aqilla celingak-celinguk, tapi tetap tidak menemukannya. Ia menyandarkan kepalanya. Merapatkan kelopak mata lama frustrasi.

Unseen [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang