MENURUNI tangga buru-buru, satu tangan Davin menggendong tasnya sebelah. Dia sedikit melirik sesosok yang sudah duduk di meja makan. Gara sudah pulang sejak kemarin. Davin tidak menceritakan apa-apa tentang kejadian hari pertama papanya pergi. Pembantu di rumahnya saat itu juga sudah pulang.
Tidak ada yang tahu selain Davin sendiri.
Gara menoleh ketika mendengar derap langkah. Dilihatnya Davin sudah siap dengan seragam dalam balutan jaket. Selalu jaket hitam itu yang dia pakai. Bukan Gara tidak tahu. Pria paruh baya itu tahu jaket itu adalah jaket dari istrinya dulu. Hanya saja Gara tidak menyangka Davin akan sebegitu sayangnya dengan jaket itu.
“Davin, sarapan dulu.”
Tidak diacuhkan. Cowok itu menarik tudung jaket hingga menutupi kepalanya, tetap mempertahankan kaki untuk melangkah lurus. Gara menghela napas. Tidak ingin memaksakan kehendak putra satu-satunya.
“Jangan lupa sarapan di sekolah!” teriak Gara selagi Davin belum menyentuh ambang pintu. Lagi-lagi tidak ada gubrisan sampai punggung putranya itu benar-benar sudah tidak terlihat.
Davin meraih helm dan memakainya, menyalakan mesin dan mengendarai motor dengan kecepatan tinggi. Hal yang paling dirinya benci. Bertemu Gara, bertingkah semuanya seolah baik-baik saja. Selama ini mau seberapa baiknya dan sabarnya Gara, Davin tidak akan pernah bisa melupakan kejadian yang membuat kadar kebenciannya pada sang papa meningkat selalu.
Berhenti di depan rumah Aqilla, dia menengok ke dalam pagar. Sesosok cewek langsung berlari menghampirinya. Tanpa mau capek-capek membuka helm, Davin langsung menyuruh cewek itu duduk di belakangnya. Tapi, Aqilla malah tidak bergerak.
“Kamu Davin, kan?”
Kaca helm Davin buka kasar. Menolehkan kepala menghadap Aqilla yang memandang ragu. “Lo pikir?«
Aqilla mengercutkan bibir, lantas naik dan duduk di belakang cowok itu. Tangannya berpegangan pada tas Davin. “Dah, yuk!”
Tanpa aba-aba, tangan Davin langsung menarik gas berkecepatan tinggi. Membuat Aqilla memekik langsung memeluk tubuh cowok itu erat. Bukan main-main. Baru kali ini Aqilla digonceng sebegitu ugal-ugalannya oleh Davin. Sampai cewek itu tidak berani membuka mata.
***
“Aqilla!”
Cewek yang dipanggil itu menolehkan kepala ke belakang. Ara berlari tergesah-gesah mengejarnya. Rambutnya sampai naik turun tidak beraturan. Aqilla menengok ke arah Davin, cowok itu sudah duluan di depannya.
“La!” Ara tidak juga menurunkan oktaf suaranya. Padahal sudah berdiri di depan Aqilla. Ara masih mengatur napasnya yang tidak beraturan. Cewek itu memegang kedua bahu Aqilla, sedikit mencengkeramnya hingga membuat Aqilla tersentak kaget.
“La, sorry banget. Gue gak tahu apa-apa kemarin. Gue gak bisa nolong lo waktu lo disidang Andra sama temen-temennya.”
“Gak apa-apa.”Aqilla tertawa kecil. Walau sudah berkata begitu, raut wajah cewek di depan Aqilla masih masih menyiratkan rasa bersalah. Beralih merangkul lengan Ara, Aqilla berkata, “Temenin aku ke perpus, ya, abis ini?”
“Apa, sih, yang enggak buat lo.” Ara tersenyum. Baru saja hendak melangkah menuju kelas, suara seseorang dari belakang menginterupsi, menghentikan pergerakan dua cewek itu.
“Aqilla?”
Menolehkan kepala ke sumber suara, Aqilla tergugu mendapati Gilang sudah berdiri di belakangnya. Diturunkannya tangannya dari lengan Ara, tubuh Aqilla membeku tanpa sebab. Mungkin karena kejadian kemarin di kelas, Aqilla menjadi agak canggung dengan teman-temannya kecuali Ara.
KAMU SEDANG MEMBACA
Unseen [END]
Horror"Gak peduli lo iblis atau apa pun. Sentuh Aqilla, gue bunuh." ~Davin Raygard. *** Aqilla Iluvia menjadi mangsa iblis selanjutnya setelah habis keluarganya dimakan hidup-hidup. Diteror, dikelilingi kegelapan yang tiada henti. Aqilla nyaris kehilanga...