28. Kecelakaan

226 15 0
                                    

Mondar-mandir, kaki Davin tidak bisa berhenti bergerak sejak lima belas menit lalu. Berada di rooftop sendirian, kabur setelah mengatakan hal yang paling memalukan, sekarang dia dirundung gelisah. Bingung bagaimana harus menampakkan diri di depan Aqilla.

Sejak kapan dirinya berubah bucin seperti tadi?

Ih, Davin sendiri jijik mendengar kalimat itu keluar dari mulutnya. Walau memang sebenarnya itu bukan kebohongan sedikit pun.

Menumpukkan kedua siku di pagar tembok pembatas, menundukkan kepala sedalam-dalamnya. Davin mengacak-acak rambutnya kemudian. Merutuki dalam hati, berbeda dengan jantung yang masih berdegub gila tidak ada habis-habisnya. Dan itu semua gara-gara cewek berisik itu.

Mengembuskan napas panjang, meluruskan pandangan Davin termenung sejenak. Semua masih teringat jelas dalam memori. Aqilla yang tiba-tiba membeku setelah dia memujinya. Juga wajah yang memerah dengan bibir terkulum rapat-rapat.

Kalau diingat-ingat, cewek itu cukup menggemaskan ketika salah tingkah. Dan tanpa sadar di detik itu senyum Davin terulas tipis. Mendengkus, dia berbalik bersandar pada tembok setinggi pinggangnya itu. Memandang langit biru berbalut awan. Terlihat bercahaya terkena sinar mentari.

"Davin?"

Seseorang memanggil dari depan. Davin menurunkan pandangan lurus, mendapati Aqilla berdiri jauh di sana. Dia buru-buru menegakkan punggung, wajahnya sedikit terkejut. Cewek itu berjalan mendekatinya, berdiri semeter di depan Davin, Aqilla mengulurkan sebuah permen.

Hanya diam, tidak berniat menolak atau menerima, alis Davin sedikit terangkat. Menatap bertanya pada cewek yang kini mengulum senyuman.

"Kamu nolak?" Mata Aqilla berkedip dua kali.

"Kenapa gue harus nolak ataupun terima?"

Pertanyaan macam apa itu? Aqilla mengatupkan bibir, berpikir sebentar mencari alasan yang tepat. Benar-benar tidak ada untungnya. Aqilla rasa seharusnya Davin menerima pemberiannya jika dia ingin. Atau menolak jika tidak suka.

Kenapa cowok itu suka sekali berbelit-belit seperti ini? Seolah mengulur waktu Aqilla.

"Ehm, kalau kamu mau terima aku bakal seneng. Tapi, kalau kamu tolak, aku sedih." Jawaban itu terdengar seperti kanak-kanak. Apalagi ekspresi Aqilla yang dibuat seimut mungkin, membuat Davin hanya terdiam menatapnya.

Menghela napas, tangan Davin memilih meraih permen kecil itu. Menyimpan dalam saku jaket yang selalu dikenakannya. Senyum Aqilla mengembang sempurna. Dia berjalan berdiri di samping Davin, memandang hamparan perkotaan depan mata.

Sesaat sinar mentari perlahan meredup terhalang awan mendung. Angin mulai menerpa perlahan-lahan, menerbangkan sehelai dua helai rambut Aqilla. Davin meliriknya sebentar, lalu ikut berbalik mengikuti pandangan cewek itu.

"Vin," panggil Aqilla, memuat kepala sembilan puluh derajat dan sedikit mendongak, "dulu itu kelas kayak apa, sih?"

Tangan Davin beralih kembali merogoh permen lemberian Aqilla, membuka bungkusnya lalu memasukkannya dalam mulut. Sedikit menoleh ke arah cewek di sampingnya, sebelum akhirnya menjawab enteng, "Biasa aja."

Aqilla berdecak. "Jawaban kamu bener-bener mengecewakan. Maksud aku ... apa semenjak aku dateng, kelas jadi kayak gini? Mereka kelihatan agak gimana gitu sama aku."

"Lo peduli?"

"Ya, iyalah. Kalau mereka gak nyaman..."

"Lo bakal pindah gitu?" Davin memotong ketika Aqilla tediam. Membuat cewek itu menatapnya sesaat, lalu kembali meluruskan pandangan. Davin mendengus, menarik kedua tangannya tenggelam dalam saku jaket. "Kenapa sih lo sepeduli itu sama mereka? Orang kayak lo itu gampang banget dibego-begoin, tahu gak?"

Unseen [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang