"Maafin gue, La. Maaf."
Davin sedikit memberi ruang, menundukkan kepala mencoba melihat wajah Aqilla. "Kita pulang." Tanpa aba-aba, tangan Davin sudah berada di bawah lutut Aqilla. Perlahan, dia mengangkat cewek itu hati-hati. Sedang Aqilla tidak mau melepas cengkeramannya dari jaket Davin.
Tidak akan termaafkan.
Kalau saja Aqilla bisa memberinya ruang, rasanya Davin ingin memberi pelajaran pada hantu itu. Sayang, cewek dalam gendongannya ini sudah terlalu ketakutan. Sampai mau bernapas saja susah.
Berjalan melewati puluhan orang, beberapa dari mereka teralihkan. Menatap Davin penasaran. Tapi, siapa peduli? Yang Davin pikirkan hanya Aqilla, Aqilla, Aqilla.
Sampai di parkiran Davin menurunkan Aqilla di sebelah motornya. Cewek itu mulai tenang. Tapi, wajahnya masih tidak bisa dibilang baik-baik saja. Aqilla mengusap pipinya yang basah. Dia melirik Davin lewat kelopak mata.
"Baikan?"
Aqilla mengangguk.
Menghela napas, tangan Davin bergerak melepas jaketnya. Beralih menyelimuti tubuh Aqilla. Tanpa sadar, dia membuat cewek itu tertegun sampai mendonggak berbalas tatap. Untuk saat ini, setidaknya Davin harus menghilangkan gengsi. Tidak membiarkan Aqilla semakin kenapa-kenapa lagi.
Hening sejenak.
Merogoh kunci motor di saku celana, Davin segera naik dan menyalakan mesin. Sementara Aqilla terpekur di tempat. Masih tidak bisa membayangkan jika Davin tidak datang tadi. Sepasang kelereng cokelat sendu itu perlahan naik, menatp punggung Davin yanh sudah siap.
Apa yang dilakukannya?
Kenapa Davin sampai sebaik ini?
Aqilla merasa dirinya sudah bergantung pada Davin. Selalu Davin. Dan pertanyaan yang selalu membuatnya terdiam tanpa jawaban; bisakah dia tetap meneruskan perasaan ini?
Merasa tidak ada tanda-tanda Aqilla sudah duduk, cowok dingin itu menolehkan kepala ke belakang. Mendapati Aqilla kembali termenung. Davin mengembuskan napas panjang. Jangan bilang pikiran Aqilla masih tertuju pada hantu sialan tadi.
"La?"
Aqilla menengok ke sumber suara. Davin memberi sorot dingin.
"Naik atau gue tinggal."
Selalu sedingin itu, ya. Aqilla buru-buru naik, tidak mau ditinggal seperti tadi. Tanpa peduli Davin akan mengecapnya tukang modus, Aqilla langsung memeluk tubuh cowok itu seerat mungkin. Menyandarkan kepalanya di punggungnya, memejamkan mata lelah.
Menjalankan motor, membelah jalanan ramai, Davin mengendarai dengan kecepatan sedang. Tidak mau membuat Aqilla semakin ketakutan. Rintik-rintik hujan membasahi kota. Walau memang tidak deras, tapi udara cukup berubah semakin dingin dengan terpaan angin.
Dapat Davin rasakan tangan Aqilla meremas kaosnya. Semakin mengeratkan pelukan. Manik Davin menunduk sekilas, menatap kedua tangan yang melingkar di perutnya. Jantung Davin berdetak dua kali lebih cepat. Rasanya sampai sesak dan sakit. Sampai tanpa sadar cowok itu menelan saliva berkali-kali dan berusaha tetap fokus pada jalanan.
Apa-apaan ini?
Dia sudah semakin gila saja karena perbuatan cewek di belakangnya ini. Meski sudah berulang kali menyadarkan diri, tidak ada yang bisa membuatnya benar-benar terjaga. Davin selalu dibuat melayang. Lalu dihempas tanpa uluran tangan.
Kembali terluka. Mencoba menahan diri untuk tidak ke atas, tapi hati selalu memaksa. Lalu lagi dan lagi. Jatuh terluka untuk kesekian kalinya.
Davin tidak akan pernah bisa mengendalikan perasaannya. Ketika Aqilla tersenyum atau bahkan tertawa, semua seolah kehilangan gravitasi. Lalu ketika air mulai bercucuran dari balik pelupuk mata cewek itu, semua berubah balik. Langit tidak lagi mengizinkannya tetap tinggal. Mendorong Davin jatuh bersama Aqilla.
KAMU SEDANG MEMBACA
Unseen [END]
Horror"Gak peduli lo iblis atau apa pun. Sentuh Aqilla, gue bunuh." ~Davin Raygard. *** Aqilla Iluvia menjadi mangsa iblis selanjutnya setelah habis keluarganya dimakan hidup-hidup. Diteror, dikelilingi kegelapan yang tiada henti. Aqilla nyaris kehilanga...