30. Karena Aku

144 9 0
                                    

“ENTAH cuma perasaan aku aja atau emang mereka ngelirikin aku.” Aqilla bergumam pelan, sedikit mengerling takut-takut pada setiap cewek yang berpapasan dengannya.

Entah apa yang sudah Aqilla perbuat. Padahal dia baru menginjakkan kaki di sekolah pagi ini. Seketika itu dia menjadi pusat perhatian. Diberi tatapan tajam terang-terang, tidak sedikit yang melirik benci.

Aqilla menghela napas panjang. Di sampingnya, Ara menepuk bahu Aqilla dua kali. Membuat si empunya menolehkan kepala. Ara menggelengkan kepala pelan. “Gak usah diperhatiin. Mereka semua pengen nyari celah buat cari masalah doang.”

“Tapi, mereka kelihatan gak suka banget sama aku.” Aqilla berkilah. Tidak tahu kenapa koridor menuju kelasnya ini jadi sangat panjang. Lama sekali mereka tidak sampai ke kelas.

“Mereka semua itu cuma sirik. Emang dasar setan!” Ara menghardik sambil melirik satu cewek yang memerhatikan mereka di depan kelas. Memelototinya tanpa takut-takut. Cewek itu bergidik, berbalik masuk dalam kelas.

Aqilla menarik tangan Ara buru-buru masuk dalam kelas. Mereka duduk bersisian. Meletakkan tas di bangku, Aqilla mengeluarkan sebuah kalung yang masih belum dia kembalikan pads Davin. Memutar-mutar gantungan benda itu, memerhatikan dengan saksama. Rasanya Aqilla pernah melihat kalung ini.

Tapi, di mana?

Seberusaha apa pun dia mengingat, hasilnya tetap nihil. Aqilla tidak dapat menemukan tempat di mana dia pertama kali melihat benda ini. Tangan Aqilla menopang dagu, memorinya kembali berputar saat Davin meminta kalung ini.

Apa Davin akan memberikannya pada seseorang?

Meringis, memukul kepalanya sendiri, Aqilla lantas melipat tangan dan menelungkupkan wajah. Memikirkan hal seperti itu malah membuatnya makin iri.

Selama ini sudah banyak kali Davin hadir setiap Aqilla bermasalah. Melindungi, membela tanpa mau mengaku. Tidak mungkin Aqilla tidak memiliki perasaan khusus setelah diperlakukan sebegitu pedulinya.

Jadi, sekarang dia harus apa? Apa ... Davin tidak juga memiliki perasaan yang sama?

“Lo kenapa, La?”

Tidak mau mengangkat wajah, yang ditanya hanya menggelengkan kepala.

Ara mengerutkan dahi heran. Tidak biasanya Aqilla terlihat sampai sefrustrasi ini. Diraihnya pundak cewek itu, Ara berusaha menariknya duduk tegak. Aqilla menolehkan kepala pada Ara. Wajahnya kentara lesu. Ara makin tidak paham.

“Lo kenapa, sih? Davin lagi? Lukanya emang parah?” tanya Ara.

Aqilla menggeleng. “Dia udah mulai baik, kok.”

Ara mangut-mangut. Tangannya menyangga pelipis. “Bagus, dong. Terus lo kenapa sebenernya?”

“Gak apa-apa. Cuma kepikiran sesuatu.” Aqilla mengulum bibir, memalingkan wajah ke arah lain. Mengeratkan genggaman kalung itu, tidak mau bercerita apa pun. Aqilla hanya tidak ingin mengikutcampurkan Ara. Takut malah membuat cewek itu ikutan kepikiran.

Tapi, Ara paham. Aqilla berusaha menyembunyikan sesuatu. Walau tidak ada sepatah kata keluar, Ara tahu bahwa Aqilla tengah tidak ingin membahas masalahnya. Ara tidak keberatan. Selama ini memang kenyamanan Aqilla, tidak membuat sang teman makin bimbang, Ara berusaha mengerti.

Menghela napas, Ara lantas berkata lembut, “La, lo boleh cerita kapan aja. Gue siap denger, kok.”

Manik Aqilla bergulir, seketika ada selimut bersalah melekat di tubuhnya. Aqilla jadi tidak enak. Dia mengembuskan napas panjang. Memilih membuka genggaman tangannya, menggeser kalung ke dekat Ara.

Unseen [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang