"AARGGHHH! SIALAN KALIAN!"Sepasang manik kelabu itu sudah benar-benar berubah menjadi sepekat malam. Ada yang berbeda dari diri Davin. Dia mengepalkan tangan. Melempar tatapan bengis ke sekeliling, Davin langsung melompat, menendang wajah hantu itu serentak. Dia memberi serangan tanpa jeda, terlihat seperti kesetanan.
Davin bahkan sudah nyaris gila menghadapi mereka. Tidak bisa mati, pasukan musuh terus bertambah. Walau tidak menyakiti, tapi mereka benar-bemar menghalangi tujuan Davin. Dan Davin sendiri tahu ini pasti suruhan tuan mereka.
Terdengar napas memburu. Keringat semakin membasahkuyupi kaos Davin. Dia menyikut keras ke belakang ketika ada yang lancang memeluknya. Meninju samping dan memutar menendang saat sebuah kepala terlempar ke arahnya.
Berhenti sejenak, dia melihat mereka yang mulai berkurang mendekati Davin. Berdiri mengelilingi dan terdiam tanpa menyentuh cowok indigo itu lagi. Tatapan menghunus tajam masih menguar penuh permusuhan. Di antara mereka ada yang mulai mundur. Menenggelamkan diri dalam air kembali. Sebagian masih berdiri tanpa suara.
Perlahan jumlah mereka mulai terlihat satu per satu. Manik Davin kembali kelabu. Dia sedikit lebih tenang. Ditatapnya satu hantu perempuan di depannya. Tangannya itu bergerak pelan-pelan. Menunjuk ke arah Davin sambil memiringkan kepala. Rambutnya tergerai kusut sampai menutupi sebagian wajah putih retak. Matanya menonjol keluar, bibirnya bergerak mengucapkan kalian lirih.
"Ga ... ra."
Davin terpaku.
Kepalanya memutar sembilan puluh derajat. Maniknya mengerling ke sisi kanan. Mendapati sang papa berdiri dengan tampang dingin. Entah sejak kapan dia sudah di sana. Tapi, yang Davin tidak mengerti dari mana papanya tahu bahwa dirinya ada di sini?
Gara melangkah mendekat. Berdiri di samping Davin menghadap putranya. Melengos, Davin membuang muka tidak mau bersitatap meski penasaran. Gara melirik hantu perempuan itu, ada kilatan hitam yang mewarnai kelereng jernih itu sampai nyaris tenggelam bersama gelapnya malam. Hantu perempuan itu mundur, ikut menenggelamkan diri dalam air bersama yang lain.
Melihat itu, Davin makin merasa ada yang aneh. Tapi, sebisa mungkin dia berusaha menyingkirkan perasaan itu. Tidak mau membuang waktu lebih banyak lagi untuk menyelamatkan Aqilla. Davin memilih berbalik terburu-buru. Namun, Gara mencekal pergelangan tangannya. Menghentikan seluruh pergerakan si sulung Raygard.
"Mau ke mana kamu?" Suara itu terdengar lebih berat dari yang pernah Davin dengar. Terasa Gara mencengkeram kuat tangannya. Seperti menunjukkan kemarahan yang tertahan.
Davin menoleh sekilas. Memberi picingan mata tidak kalah mematikan. "Lepas." Dia mendesis, menyentak tangan sang papa tidak hormat. Tapi, baru saja hendak kembali melanjutkan langkah yang tertunda, Gara lagi-lagi menahan tangannya.
"Papa gak ngizinin kamu pergi." Berubah. Gara yang sempat beramah hati dan mencoba mengambil perhatian Davin kembali menjadi sedingin dulu. Davin mendengkus. Semakin muak menyadari waktunya makin menipis. Dia berbalik, menatap Gara dengan sorot bengis terang-terangan.
"Siapa lo? Gue gak butuh izin siapapun."
"Jangan ikut campur permasalahan makhluk lain, Vin. Papa ngelarang keras."
Alis Davin naik sebelah, sedetik kemudian terdengan dengusan kesal. Davin menarik tangannya kasar. Terlepas dari cekalan sang papa. "Gue gak peduli."
Kembali memutar tubuh, Davin berjalan meninggalkan tempat hening itu. Dia sadar. Gara menyembunyikan sesuatu. Selama ini ada yang tidak pernah terungkap. Tapi, siapa peduli? Tidak ada hubungan apa-apa lagi di antara mereka. Tidak akan pernah ada.
KAMU SEDANG MEMBACA
Unseen [END]
Horror"Gak peduli lo iblis atau apa pun. Sentuh Aqilla, gue bunuh." ~Davin Raygard. *** Aqilla Iluvia menjadi mangsa iblis selanjutnya setelah habis keluarganya dimakan hidup-hidup. Diteror, dikelilingi kegelapan yang tiada henti. Aqilla nyaris kehilanga...