MEMBUKA mata.
Hal yang pertama Davin rasakan adalah kepalanya berdenyut. Silau cahaya membutakan penglihatan sesaat. Mengerjap beberapa kali, cowok itu lantas beranjak dari tidur. Tangannya memijit pangkal hidung. Matanya terpejam. Sebelum tiba-tiba dirinya teringat sesuatu.
Meluruskan pandangan lalu menatap sekeliling. Davin baru sadar bahwa ia ada di kamarnya. Sendirian. Buru-buru melompat dari kasur, ia memutar kunci pintu berusaha membukanya. Mata Davin terpaku. Tidak bisa dibuka. Cowok itu terus memutar gagang pintu, menariknya sekuat tenaga. Sayang semua itu sia-sia.
Menggeram, Davin menendang pintu kamar. Mengacak-acak rambut fruatrasi. Ini semua pasti ulah sang papa. Mengingat kejadian semalam, pasti Gara yang sudah membuatnya pingsan juga. Tangan Davin mengepal. Amarahnya mulai tidak terkontrol.
“BUKA! MAKSUD LO APA NGUNCIIN GUE, HAH?!”
Pria paruh baya yang menyesap kopi hangatnya duduk dengan kaki menyilang. Tidak menggubris teriakan-teriakan putranya di sofa tunggal menulikan telinga, Gara meletakkan kembali cangkir beling di atas meja. Kembali menyandarkan punggung ke sofa dan meluruskan pandangan.
Dia sudah benar.
Yang Gara lakukan demi kebaikan semua orang. Jadi, dia tidak perlu sebegini khawatirnya. Davin akan baik-baik saja. Dia akan melupakan semua ini lama-kelamaan nanti.
“BUKA, SIALAN!”
Davin sudah kehabisan suara. Cowok itu mengambil ancang-ancang mundur, berlari mendobrak pintu. Dia meringis. Ini tidak seperti biasanya. Davin kembali melakukan hal yang sama. Berulang kali. Tapi, tidak ada hasil.
Untuk yang terakhir kali, Davin kembali mendobrak. Terdengar suara patahan. Cowok itu tergugu, memicingkan mata menatap pintu kamarnya lekat-lekat. Ada cahaya hitam berpendar sangat tipis mengelilingi pintu.
Segel.
“Sialan!” Davin menjambak rambutnya. Pantas saja tidak bisa didobrak. Segel di pintu itu benar-benar kuat. Davin bahkan nyaris tidak melihatnya. Cowok itu berjalan memutar, menundukkan kepala berpikir dalam-dalam.
Siapa sebenarnya Gara? Selama ini Davin tidak pernah menyadari ada sesuatu yang berbeda dari diri sang papa. Gara bukan manusia. Bukan sesosok yang Davin kira.
Davin tidak tahu seberapa besar kekuatan Gara. Yang jelas, kali ini ia masih tidak bisa menandinginya. Dan spekulasi yang mengatakan bahwa Gara menyembunyikan sesuatu semakin menancap dalam otak Davin.
“Kakak?”
Davin menggulirkan manik kelabunya. Melirik hantu bocah yang duduk di sampingnya. Kaki-kakinya menjuntai terayun-ayun. Dia menolehkan kepala menatap sang indigo. Wajah pucat dan setengah hancur itu terlihat tenang. Raut yang tidak pernah Davin lihat sebelumnya.
“Aku ... udah inget.” Dia mengatakan dengan serak. Untuk beberapa waktu, keheningan menelan mudah ruangan itu. Davin hanya memandang dengan sorot tidak terbaca.
Dia menunduk, tangannya terlihat gemetaran meremas seprai. Bocah itu entah mengapa terlihat menyedihkan untuk pertama kali di mata Davin. Tapi, indigo itu tidak mau bersuara apapun sebelum dia paham apa maksud perkataan hantu bocah itu.
“Nama aku Keo. Keo, aku Keo.” Dia semakin menunduk, memejamkan mata rapat-rapat. Bibir hantu itu bergetar, kentara tidak mampu melanjutkan kalimatnya.
Davin memandang rumit. Sejenak tatapan mengosong. Tidak ada suara yang bisa ia katakan setelah mendengar pikiran hantu di depannya. Menelan saliva sekali, satu tangannya mengepal. Rahang Davin mengeras bersama manik kelabunya berubah menatap bengis bocah di sampingnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Unseen [END]
Terror"Gak peduli lo iblis atau apa pun. Sentuh Aqilla, gue bunuh." ~Davin Raygard. *** Aqilla Iluvia menjadi mangsa iblis selanjutnya setelah habis keluarganya dimakan hidup-hidup. Diteror, dikelilingi kegelapan yang tiada henti. Aqilla nyaris kehilanga...