20. Hanya Kamu Satu-Satunya

168 10 0
                                    

“MAKSUD lo apa buat Hanna sampe kayak gitu?! Masalah lo apa sebenernya?!” Andra maju, nyaris melayangkan tinjunya ke Aqilla jika Gilang tidak buru-buru menahannya. Cewek yang duduk disidang di kelas itu hanya menunduk, tidak berani mengangkat kepala.

“Dra, tenang, Dra. Dia cewek.” Gilang memberitahu, tidak mau membiarkan temannya bertindak gegabah dengan melakukan hal kasar pada seorang Aqilla.

Kelas hening.

Gilang menyuruh satu temannya untuk menutup pintu agar tidak ada yang ikut campur urusan kelas. Hanya ada beberapa orang dalam kelas. Hanna tadi juga sudah diantar ke rumah sakit oleh guru. Tidak ada yang mampu memberikan penjelasan pasti kepada guru. Hanya Aqilla yang tahu. Dan sekarang Andra sudah kehilangan akal gara-gara menghadapi permasalahan ini.

Menghempas tangan Gilang di bahunya, melempar sorot murka, Andra menunjuk Aqilla dan berkata, “Heh, Geotrama! Kalo lo mau ngebunuh orang seenggak gak usah murid sekolah ini! Kita-kita gak pernah punya urusan sama lo! Kenapa lo ngusik dan buat kacau, sih?!”

Tidak ada jawaban.

Aqilla tetap mengatupkan bibir, menautkan jari-jemarinya begitu erat di pangkuan. Pandangannya kosong, tidak ada pergerakan lagi yang mampu terlihat dari tubuh berseragam berantakan itu.

Andra membuang napas kasar, berkacak pinggang dan mendongakkan kepala sambil tersenyum sinis. Kembali memandang cewek itu, Andra sudah tidak bisa menahan lebih jauh lagi. Dia menghampiri Aqilla, menggebrak meja cewek itu dan menarik kerah baju Aqilla. Memaksa untuk melihat ke wajah bengisnya.

“Lo gak budeg, kan?” Mendesis dengan menekan kuat pada kalimatnya, tidak ada pancaran mata dari Andra yang memungkinkan Aqilla untuk menjelaskan. Cowok itu sudah pasti tidak akan mempercayainya. Kentara dari tindakannya saat ini.

“Aku–aku minta maaf.”

“Basi!”

Andra mendorong Aqilla hingga cewek itu kembali terduduk. Dia mencondongkan tubuhnya, mendekatkan wajahnya dengan wajah pucat Aqilla. “Lo harus tanggung jawab kalau ada apa-apa sama Hanna. Bahkan kalau dia sampe mati,” Andra menajamkan penglihatan, berbisik seram, “lo mati.”

“BANGSAT!”

Davin menarik baju Andra dari belakang, langsung melayangkan sebuah kepalan tangan. Memukuli wajah cowok itu habis-habisan tanpa memberikan celah sedikit pun. Gilang dan yang lain segera memisah. Tapi, Davin sudah kehilangan kendali dirinya sendiri.

Cowok itu bahkan ... tidak bisa memikirkan apa pun lagi selain wajah ketakutan Aqilla.

“Vin, berhenti, Vin! Andra bisa mati!” Gilang mencekal kedua tangan Davin ke belakang tubuhnya, dibantu Dirga. Davin mulai tenang. Masih tidak mengalihkan mata dari Andra. Cowok yang sudah babak belur itu susah payah menegakkan punggung.

Memutar kepala, Davin bersitatap dengan Aqilla yang mematung di tempat. Cewek itu tidak berkedip sekali pun. Matanya menatap Davin sembab. Dahinya berkeringat deras dan wajahnya pucat.

Davin menepis tangan Gilang dan Dirga. Berjalan mendekati Aqilla, ia berdiri di depan cewek itu. Manik kelabunya bergulir melihat kepalan tangan sampai buku-bukunya memutih. Sesuatu meremas jantung Davin. Melihat Aqilla seperti ini rasanya ada yang mencengkeram sesuatu dalam dirinya.

Davin meraih tangan Aqilla, membuka kepalan itu pelan-pelan menyelipkan jari-jarinya di sela milik Aqilla. Tangannya menggenggam tangan dingin nan basah cewek itu erat sekali.

“Lo belain itu cewek sial, Vin?” Andra berdiri sempoyongan, tertawa menghina. Tangannya mengusap darah yang mengalir di sudut bibirnya yang menyunggingkan seringain. “Lo tahu apa yang udah dia lakuin, ha?”

“Gue gak peduli.” Davin menyahut datar.

“Lo masih punya otak gak, sih, Vin?! Dia hampir bunuh orang! Jangan karena lo gak pernah gaul sama siapa pun terus lo jadi seegois ini! Yang salah harus dihukum!”

Aqilla menundukkan kepala dalam-dalam. Melihat itu, Davin menghela napas panjang. Tidak melepaskan tangan Aqilla sedikit pun, dia berbalik menghadap Andra. Diam sejenak, memberi tatapan dingin.

“Gue gak peduli,” kata Davin. Dia meluruskan pandangan, Andra terlihat menahan geraman. “Gue gak pernah peduli sama siapa pun. Entah dia mau mati atau hidup, bukan urusan gue. Dan lagi, entah itu salah Aqilla atau bukan, gue gak bakal berhenti ngehajar orang yang udah nyakitin Aqilla.”

***

Sepanjang koridor, Davin dan Aqilla lagi-lagi menjadi pusat atensi. Terlebih cowok indigo itu ke sekolah dengan pakaian kasual sehari-hari. Banyak yang memberi tatapan aneh. Mereka sangat tahu bahwa jaket yang kini membalut tubuh mungil Aqilla adalah milik Davin.

Davin masih menggandeng tangan Aqilla. Berjalan bersisian bersama cewek yang terus menunduk. Hingga sampai di parkiran, Davin melepas genggaman tangan mereka. Aqilla mendongakkan wajah, menatap aang indigo dalam diam.

“Davin–”

“Jangan ngomong apa pun.”

Aqilla membungkam bibirnya.

“Lo udah bener-bener pengen mati?” Davin bertanya sarkastik, yang mendengarkan tidak berani menyahut sepatah kata pun. Terdengar dengusan kasar, Davin meraih kedua bahu Aqilla. Sedikit mencengkeramnya hingga membuat Aqilla menahan nyeri. “Lo punya HP, kan? Gue udah bilang kalau ada apa-apa telepon gue. Kapan pun! Kenapa lo gak bisa ngertiin kalimat itu, sih?!”

“Maaf.”

“Gue gak butuh maaf lo!”  Davin memberi tatapan tajam. “Gue pikir otak lo itu berfungsi, tapi kayaknya enggak sama sekali.”

Aqilla memalingkan wajahnya. Matanya sedikit perih dan berair. Ingatan wajah Hanna yang babak belur di depan matanya membuatnya terus merinding. Gara-gara Aqilla semua orang terlibat dalam bahaya.

“Lo dengerin gue gak, sih?!” Davin melepaskan cengkeramannya. Tidak ada jawaban. Cewek di depannya masih tidak mau memandang balas wajahnya. Sedikit memiringkan kepala, Davin tertegun mendapati pipi Aqilla basah. “Lo nangis?”

Menggeleng, tapi sedetik kemudian terdengar isakan. Davin mengatupkan bibir rapat-rapat. Dia menepuk kepala Aqilla dua kali, lalu mengelus tambut itu dengan lembut.

“Maaf.” Davin merasa bersalah.

Aqilla menggeleng pelan, mengusap pipinya, “Maaf. Kamu jadi kesusahan lagi.”

Davin menatap dalam manik berkaca-kaca di depannya itu. Aqilla mengulum bibir dalam-dalam, berusaha menahan tangis yang hendak memecah.

“Lo ada yang luka?” tanyanya mengaluhkan topik. Aqilla kembali menggeleng.

“Hanna yang luka.”

Tidak mendengarkannya, Davin menarik punggung itu, membawanya dalam rengkuhan miliknya. Menumpukkan dagu di atas kepala Aqilla, Davin memejamkan kedua mata.

“Lo aman sama gue sekarang. Gak usah pikirin orang lain."

“Davin, bukan aku yang nyelakain Hanna.” Suara Aqilla lebih terdengar berbisik, tapi Davin bisa mendengarnya dengan jelas.

Davin mengusap rambut Aqilla. “Gue tahu.”

Tanpa sadar, Aqilla mengeratkan pelukannya. Berharap Davin tidak akan pernah meninggalkannya. Hanya Davin. Hanya cowok itu yang benar-benar mempercayai Aqilla. Selalu ada ketika dirinya ditinggalkan semua orang. Bukan ingin egois, tapi Aqilla tidak mau kehilangannya.

***

Unseen [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang