"DAVIN? Kamu beneran jemput aku?"Pagi-pagi, ketika Aqilla baru saja membuka pintu hendak berangkat, entah sejak kapan motor Davin sudah terparkir di luar gerbang. Cowok itu tidak mengatakan sepatah kata pun. Tidak mengirim pesan bahwa dia akan menjemput Aqilla. Datang tiba-tiba dan membuat cewek itu merasa seperti tengah berhalusinasi.
"Davin, kenapa kamu gak chat aku? Jadi, aku bisa bukain pintu kamu daripada kamu nunggu di sini." Aqilla malah mengomeli.
"Naik atau gue tinggal?"
"Tapi, kamu belum jawab pertanyaan aku. Aku jadi ngerasa bersalah." Aqilla masih menuntut keras. Davin semakin malas membahasnya.
Ia menyalakan mesin, menarik kaca helmnya hingga tertutup rapat. Tanpa aba-aba, cowok itu mengegas kencang motornya. Meninggalkan Aqilla yang membelalak.
"Davin, kamu serius mau hemput atau enggak, sih?!"
Aqilla memberengut kesal. Davin yang masih belum terlalu jauh memutar arah berbalik. Aqilla mengamatinya saksama. Hingga akhirnya cowok itu kembali memakirkan motor di depan cewek yang menyedekapkan tangan di depan dada.
Davin menaikkan kaca helmnya. "Naik atau gue tinggal?"
"Kenapa sih omongan kamu selalu serius?" Aqilla menggerutu, tangannya meraih bahu Davin demi membantunya naik motor yang agak tinggi itu. Duduk membenarkan roknya, Aqilla langsung memeluk tubuh cowok itu. "Ayo, jalan!"
Davin berusaha terbiasa. Meski jantungnya bertalu-talu, memompa darah dengan kecepatan di ambang batas normal.
***
"Lo boncengan sama Davin. Satu sekolah udah pada heboh sama berita yang kalian bawa."
Sejak guru keluar kelas Ara sudah nyerocos sambil mendudukkan diri di sebelah Aqilla. Cewek yang tengah menyalin catatan itu menolehkan kepala ke arah Ara. Mengangkat sebelah alis tanda tidak paham. Ara menghela napas sejenak.
"La, serius? Lo pelet atau gimana sampe Davin bisa boncengin lo?" Ara menatap tidak percaya. Ia belum sempat mengintrogasi tadi karena datang terlambat.
Davin sangat dingin dan tidak bisa disentuh oleh siapapun. Itu dulu. Tidak setelah Aqilla hadir dan membuat heboh seantero sekolah karena berangkat bersama Aqilla.
"Aku cuma berangkat bareng. Kenapa harus heran?" Aqilla masih tidak mengerti kenapa harus jadi sekaget ini orang-orang di sekitarnya.
Ara memijat pangkal hidungnya. Aqilla masih tidak sadar ternyata. "La, Davin itu cowoknya misterius banget. Jangankan nyentuh orangnya. Barangnya aja bisa dibunuh pake death glare–nya."
"Dia yang nyamperin aku. Aku tolak ya gak mungkin. Tebengan gratis." Aqilla nyengir. Ara berkedip dua kali. Tidak percaya hanya karena tebengan gratis dia mau berangkat bersama Davin.
"Lo masih anggep itu biasa aja?" Ara rasa tidak ada yang bisa menolak pesona seorang Davin Raygard. Mustahil jika Aqilla merasa biasa saja.
"Aku gak anggep itu biasa. Aku sendiri juga kaget waktu Davin udah duduk di atas motor depan gerbang rumah. Dia aja gak ngabarin kalo mau berangkat bareng."
Ara menganggukkan kepala paham. "Dewi fortuna lagi berpihak sama lo. Seharusnya lo bersyukur banget karena bisa berangkat sama most wanted ratusan cewek."
"Aku bersyukur banget. Bahkan aku punya niatan buat pedekate sama Davin." Aqilla tersenyum-senyum sendiri. Ara memiringkan kepala menatap curiga.
Aqilla menutup buku-bukunya, menaruh pulpen ke kotak pensil dan menyimpan barang-barangnya dalam laci. "Ra, kantin yuk!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Unseen [END]
Horror"Gak peduli lo iblis atau apa pun. Sentuh Aqilla, gue bunuh." ~Davin Raygard. *** Aqilla Iluvia menjadi mangsa iblis selanjutnya setelah habis keluarganya dimakan hidup-hidup. Diteror, dikelilingi kegelapan yang tiada henti. Aqilla nyaris kehilanga...